Artinya, meskipun PAM JAYA sedang dalam kondisi tak untung atau merugi, pemerintah tetap harus memberikan keuntungan kepada Aetra dan Palyja. Nilai jaminan keuntungan itu sebesar Rp 2,7 miliar per hari atau Rp 8,5 triliun jika kontrak terus berlanjut hingga 2023.
Keuntungannya jika Pemprov DKI memilih alternatif status quo ini, pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya atas pengambilalihan fasilitas karena setelah kontrak selesai seluruh aset akan kembali.
Sebagai dampaknya, Pemprov DKI tak akan mampu mencapai target penambahan layanan air perpipaan karena ada hak eksklusivitas mitra swasta dalam investasi dan pengelolaan.
Opsi kedua pemutusan kontrak sepihak. Dengan cara ini, masa kontrak yang seharusnya selesai 2023 menjadi lebih cepat empat tahun.
Baca juga : Aduan Swastanisasi Air, KPK Warning Anies Baswedan
Namun, pemutusan kontrak sepihak ini juga mengandung konsekuensi. PemprovDKI harus menanggung biaya terminasi sebesar Rp 1 triliun lebih untuk satu perusahaan.
Opsi terakhir terkait stop swastanisasi air, yaitu pengambilalihan pengelolaan secara perdata. Ada tiga cara pengambilalihan secara perdata antara lain membeli saham kedua Palyja dan Aetra, penghentian kerja sama, dan pengambilalihan secara bertahap Water Treatment Plan (WTP) atau Instalasi Pengelolaan Air (IPA) oleh PD PAM Jaya. Dengan opsi ini pemerintah pun harus menggelontorkan biaya antara 1-2 triliun.