TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan tingginya kadar belerang dalam bahan bakar minyak atau BBM berdampak pada pencemaran udara di DKI Jakarta. Pembakaran yang tidak sempurna memicu terbentuknya emisi berupa senyawa kimia seperti nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), dan hidrokarbon (HC).
Ahmad menjelaskan, senyawa NOx tadi dapat memicu flek di paru-paru, khususnya menyerang anak kecil. Alhasil, anak kecil rentan terkena paru-paru basah alias pneunomia ketika menghirup udara yang mengandung NOx dari pembakaran BBM.
"Karbon monoksida mematikan. Coba berdiri di pinggir jalan setengah jam pasti lemas meskipun tempat itu teduh," kata Ahmad saat dihubungi Tempo, Senin, 17 Juni 2019.
Ahmad menceritakan proses awal tingginya kadar belerang dalam BBM di Jakarta khususnya untuk premium dan solar. Menurut dia, dua jenis BBM itu mengandung kadar belerang yang tinggi. Kadar belerang dalam premium dengan oktan 88 sebesar 200 PPM, sedangkan solar 2 ribu PPM.
Tingginya kadar belerang memicu kemunculan partikel debu dan sulfur dioksida. Kandungan sulfur dioksida yang tinggi otomatis menyebabkan ruang pembakaran mesin kendaraan kotor, sehingga pembakaran tidak sempurna.
Ahmad melanjutkan pembakaran yang tak sempurna bakal membuat penggunaan BBM boros 10-20 persen. Tapi yang terpenting adalah menyebabkan tingginya kandungan NOx, CO, dan HC yang menyebar di udara. "Kalau hidrokarbon itu yang memicu kanker. Jadi jangan salahkan kalau kanker juga meningkat, seperti Bu Ani (isteri Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono)," ucapnya.
Dia mengungkapkan bahwa negara lain telah menerapkan kebijakan kadar belerang dalam BBM maksimum 50 PPM, semisal Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam. Teknologi mesin kendaraan termutakhir pun hanya bisa disuplai bahan bakar dengan besaran belerang maksimum 50 PPM. Jika tidak, menurut dia, kendaraan mesin cepat rusak.
Walau begitu standar internasional menganjurkan dunia memproduksi BBM dengan tingkat belerang maksimum 10 PPM. "Pemerintah kita tidak segera mengadopsi karena kami menduga pemerintah dan pertamina di-drive oleh oil trader," tutur Ahmad.
Sebelumnya, Pelaksana tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih menyebut bahwa residu hasil pembakaran BBM di Jakarta menjadi sumber utama pencemaran udara. Sebanyak 80 persen kendaraan yang menggunakan BBM berjenis solar mondar-mandir dari Jabodetabek ke Ibu Kota.
Menurut Andono, kualitas BBM di Jakarta mempengaruhi besarnya pencemaran udara di Jakarta. Pembakaran premium dan solar justru menghasilkan residu dengan kandungan sulfur atau belerang yang tinggi. BBM dalam negeri berkualitas paling baik dimulai dari Pertamax.
LANI DIANA