TEMPO.CO, Jakarta - Tersangka kasus hoax Ratna Sarumpaet akan membacakan sendiri pledoi atau nota pembelaan atas tuntutan 6 tahun penjara yang diajukan jaksa.
Baca: Sidang Ratna Sarumpaet, Rocky Gerung Jengkel Karena Jadi Korban
Pengacara Ratna Sarumpaet, Desmihardi, mengatakan timnya telah siap menyampaikan pledoi pada persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 18 Juni 2019. Menurut Desmihardi ada dua pledoi yang akan disampaikan.
Tim pengacara akan membacakan pleidoi secara yuridis, sementara Ratna dari sisi kemanusiaan. “Rencananya di samping dari kami tim pengcara, Bu Ratna juga akan menyampaikan pledoi,” ujar Desmihardi di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin, 17 Juni 2019.
Desmihardi menjelaskan, pledoi setebal 108 halaman yang disusun oleh tim pengacara akan fokus kepada bantahan pembuktian delik materil yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum terkait keonaran akibat kebohongan Ratna. Hal itu, kata Desmihardi, tak terbukti selama persidangan.
“Sesuai dengan definisi keonaran, menurut pandangan kami tidak terjadi. Selain itu, yang berhak membuktikan keonaran itu adalah saksi fakta, bukan saksi ahli,” tutur dia.
Pada 28 Mei 2019, jaksa penuntut umum menuntut Ratna Sarumpaet dihukum penjara 6 tahun. Jaksa menyatakan Ratna bersalah atas penyebaran berita bohong tentang penganiyaan dirinya sehingga menimbulkan keonaran di masyarakat. Ratna dianggap terbukti melanggar Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang mengedarkan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran.
Sebelumnya, pengacara Ratna yang lain, Insank Nasruddin, mengatakan untuk membuktikan delik keonaran, jaksa menyebut bahwa bentuk yang ditimbulkan dari berita bohong Ratna adalah adanya demonstrasi yang diikuti oleh 20 orang, silang pendapat di media sosial, dan kumpulnya para aktivis seperti Fahri Hamzah di kawasan Menteng.
Baca: Rocky Gerung: Unsur Keonaran di Kasus Ratna Sarumpaet Terpenuhi
Menurut pendapat Insank, demonstrasi oleh dua puluh orang tidak bisa dijadikan pembuktian sebagai keonaran akibat hoax Ratna Sarumpaet. Insank mengatakan, ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakkir juga berpendapat demikian. "Kemudian ahli ITE lagi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, menegaskan silang pendapat di media sosial bukan keonaran, dan di media sosial itu tidak ada keonaran yang ada hanya trending topic," tutur Insank.