TEMPO.CO, Jakarta -Penasehat hukum menilai kasus berita bohong yang menyebabkan keonaran dengan terdakwa Ratna Sarumpaet dijadikan komuditas politik dalam Pemilihan Presiden 2019.
Hal tersebut disampaikan Desmihardi penasehat hukum saat membacakan pleidoi dalam lanjutan persidangan Ratna Sarumpaet.
Baca : Menangis Bacakan Pleidoi, Ratna Sarumpaet: Tak Ada Motif Politik
"Perkara ini melibatkan tokoh tokoh penting di negara ini, tidak heran jika perkara ini dijadikan komoditas politik untuk menghantam lawan politik , " ujarnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Selasa 18 Juni 2019.
Bahkan kata Desmihardi, perkara berita bohong Ratna Sarumpaet dibahas di sejumlah diskusi hingga debat Pemilihan Presiden 2019.
Menurut Desmihardi hal tersebut terjadi tidak lepas dari sikap Ratna Sarumpaet yang juga dikenal sebagai aktivis HAM yang juga sering menentang kebijakan pemerintah.
Maka lanjut Desmihardi tidak heran jika Ratna Sarumpaet kemudian dijerat dengan pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 yang sudah tidak digunakan lagi.
Padahal kata Desmihardi, dari berita bohong Ratna Sarumpaet tidak terbukti menimbulkan keonaran di tengah masyarakat. Lantaran tidak ada pihak yang dirugikan dari berita bohong Ratna Sarumpaet.
Baca : Pengembangan Kasus Ratna Sarumpaet, Polisi Bidik Penyebar Hoax?
Dalam pleidoi tersebut Desmihardi menyatakan menolak tuntutan jaksa penutut umum. "Secara tegas menolak tuntutan jaksa penutut umum," ujarnya.
Jaksa penuntut umum menuntut Ratna Sarumpaet dihukum penjara 6 tahun. Jaksa menyatakan Ratna bersalah atas penyebaran berita bohong tentang penganiyaan dirinya sehingga menimbulkan keonaran di masyarakat. Ratna dianggap terbukti melanggar Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang mengedarkan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran.