TEMPO.CO, Jakarta - Pengacara Ratna Sarumpaet, Insank Nasrudin menyatakan yakin kliennya akan bebas dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum terkait kasus kabar bohong alias hoax. Keyakinan itu muncul setelah melihat fakta persidangan yang terungkap.
"Tidak ada alasan Ibu Ratna harus dilepaskan dari segala tuntutan,” ujar Insank saat dikonfirmasi wartawan pada Kamis, 20 Juni 2019.
Baca: Ratna Sarumpaet Yakinkan Tak Ada Politisasi Waktu Sebar Hoax
Insank menilai tuntutan jaksa kepada Ratna keliru, khususnya soal keonaran yang disebut akibat dari kebohongan Ratna. Dalam dakwaannya, jaksa menyebut keonaran muncul dalam bentuk demonstrasi di beberapa tempat serta pro dan kontra di media sosial.
"Kalau demonstrasi itu keonaran, maka setiap terjadi wajib ditangkap karena pidana. Kan tidak bisa seperti itu," kata Insank.
Menurut Insank, perdebatan yang muncul di ranah media sosial bukan sebuah bentuk keonaran. Ia juga menyebut kalau kliennya berbohong terhadap diri sendiri, bukan ke khalayak luas.
Pada Selasa, 18 Juni lalu, Ratna Sarumpaet beserta tim pengacaranya membacakan nota pembelaan alias pleidoi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ibu dari aktris Atiqah Hasiholan itu meminta majelis hakim membebaskan dirinya. “Saya memohon kepada majelis hakim bebaskan saya secara hukum," kata dia.
Baca: Sidang Pleidoi, Alasan Ratna Sarumpaet Minta Dibebaskan
Ratna Sarumpaet menilai tuntutan jaksa yang menjeratnya dengan pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tidak relevan karena dia tidak ada niat untuk menyebarkan berita bohong yang menyebabkan keonaran. Menurut dia, berita bohong soal penganiyaan tersebut bersifat pribadi yang dia karang untuk keluarga dan orang dekatnya.
Ratna juga tidak mengerti keonaran yang dimaksud oleh jaksa penutut umum. Ia menilai keonaran merupakan kerusuhan besar seperti yang terjadi pada Mei 1998.
JPU sebelumnya menuntut Ratna Sarumpaet dihukum penjara 6 tahun. Jaksa menyatakan Ratna bersalah atas penyebaran berita bohong tentang penganiyaan dirinya sehingga menimbulkan keonaran di masyarakat. Ratna dianggap terbukti melanggar Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang mengedarkan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran.