Pengacara menampik Ratna telah menimbulkan keonaran di tengah masyarakat. Insank Nasarudin, pengacara Ratna, mengungkapkan keonaran yang dimaksud dalam pasal tersebut tidak terjadi karena tak ada pihak yang mengalami kerugian akibat berita bohong pemukulan terdakwa.
Dalil ini dibantah lagi oleh jaksa. Reza mengacu pada keterangan tiga ahli. Salah satunya dari ahli bahasa, Wahyu Wibowo, yang berpendapat keonaran merupakan keributan. Artinya, makna keonaran tak hanya melakukan tindakan anarkis, melainkan membuat gaduh atau memicu orang lain bertanya-tanya.
Poin ketiga bahwa jaksa membantah pernyataan pengacara yang meragukan objektivitas saksi dengan latar belakang penyidik. Jaksa sebelumnya menghadirkan beberapa penyidik sebagai saksi di persidangan Ratna.
Menurut Reza, menghadirkan penyidik sebagai saksi dalam persidangan merupakan sesuatu yang wajar. Hal ini sudah sesuai dengan Pasal 184 ayat 1 dan Pasal 185 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa saksi memberikan keterangan berdasarkan apa yang dilihat, didengar, dan dialami.
Baca : Begini Ratna Sarumpaet Mengaku Berbohong Tapi Tak Berniat Bikin Onar
"Tidak ada ketentuan yang mengatur dalam KUHAP yang melarang penyidik diminta keterangan sebagai saksi karena faktanya banyak perkara lain di mana penyidik sebagai saksi misalnya saja dalam perkara narkotika," jelas dia.
JPU menuntut Ratna Sarumpaet dihukum penjara 6 tahun. Jaksa menyatakan Ratna bersalah atas penyebaran berita bohong tentang penganiyaan dirinya sehingga menimbulkan keonaran di masyarakat. Ratna dianggap terbukti melanggar Pasal 14 Ayat 1 UU 1/1946.