TEMPO.CO, Jakarta - Perluasan program integrasi moda transportasi umum lewat Jak Lingko terus dilakukan. Direktur Operasional PT Transportasi Jakarta Daud Josep mengatakan saat ini pihaknya tengah menyesuaikan rute angkutan umum yang tergabung dengan pengoperasian Moda Raya Terpadu (MRT).
"Jadi Jak Lingko tak lagi sekedar angkot dan Transjakarta, tapi sudah terintegrasi ke MRT dan KRL juga," ujar Daud, Selasa, 2 Juli 2019.
Baca: Empat Operator Bus Ini akan Kerja Sama dengan Jak Lingko
Menurut Daud, operator bus kota yang telah tergabung dengan Jak Lingko tidak keberatan jika rutenya diubah karena kerja sama integrasi didasari dengan skema rupiah per kilometer. Selain itu, Mei lalu, empat rute baru bus kecil Jak Lingko juga mulai dioperasikan.
Ketiga rute itu adalah Stasiun ASEAN- pakubuwono, stasiun ASEAN-Kramat Pela, Stasiun ASEAN-Wijaya, dan Andara-Lenteng Agung. Adapun saat ini total telah ada 16 rute BRT (Bus Rapid Transit), 10 rute bus kecil (angkot), tiga rute lintas koridor dan lima rute Transjabodetabek yang terintegrasi dengan MRT di bawah naungan Jak Lingko.
Daud mengatakan perkembangan rute Jak Lingko juga diikuti peningkatan jumlah penumpang. Ia pun berharap dengan adanya integrasi antar moda yang semakin baik, ke depannya mobilitas warga Jakarta bisa beralih ke transportasi publik. Sehingga kemacetan bisa berkurang.
Baca: Kemacetan Jakarta Turun, Pemprov DKI Klaim Tujuh Inovasi Ini
Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta Shafruhan Sinungan menilai Jak Lingko belum optimal. Padahal transportasi yang ada di DKI Jakarta ini sebenarnya sudah cukup lengkap, mulai dari mikrolet, bus Transjakarta, kereta rel listrik (KRL), sampai moda raya terpadu (MRT). "Bahkan tak lama lagi kereta api ringan atau LRT juga akan ikut bergabung dalam jajaran moda transportasi publik DKI," kata dia.
Menurut Shafruhan, rute bus kecil yang tergabung dengan Jak Lingko belum menyentuh kawasan permukiman. "Perlu rerouting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di permukiman," kata dia. Ia mengusulkan trayeknya diubah menjadi angkutan pengumpul yang masuk ke lingkungan pemukiman warga dengan tujuan akhir di koridor-koridor Transjakarta.
Dalam rerouting, menurut Shafruhan, Transjakarta juga perlu kajian terlebih dulu seperti melihat prediksi mobilitas masyarakat dan waktu padat. Selain itu, implementasi Peratiran Menteri Perhubungan Nomor 29 soal SPM angkutan umum juga perlu diterapkan. "Model angkot yang belum nyaman juga bikin orang belum tertarik," kata dia.
Saat ini, Organda mencatat jumlah bus kecil yang tergabung dengan Jak Lingko baru sekitar tujuh persen. Artinya, dari total 12 ribu unit, baru 800 mikrolet yang teritegrasi.
Berdasarkan pengamatan Tempo, masih banyak masyarakat yang memilih menggunakan ojeg online daripada Jak Lingko. Hal itu terlihat di Stasiun MRT Lebak Bulus dan Stasiun KRL Tanah Abang. Armada bus kecil Jak Lingko tampak banyak kosong padahal penumpang MRT dan KRL ramai di depan stasiun. "Lebih nyaman naik ojek online, langsung sampai depan rumah juga," ujar Syarifah, 29 tahun saat ditemui Tempo di depan Stasiun MRT Lebak Bulus.
Alif Rahman, 43 tahun, salah satu supir angkot Jak Lingko juga mengaku kerap kesulitan mendapat penumpang. "Bingung juga, ngetem enggak boleh tapi bagaimana cari penumpangnya. Kalau jalan terus, enggak ada yang naik," kata dia.