TEMPO.CO, Jakarta - Komite Keselamatan Jurnalis mendorong pihak kepolisian menggunakan UU Pers dalam proses hukum pelaku kekerasan terhadap wartawan di kerusuhan 22 Mei lalu.
Baca: Karikatur Tempo, AJI Jakarta: Aksi Massa FPI Tak Paham UU Pers
Ketua bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Sasmito, mengatakan selama ini polisi hanya mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk mengadili pelaku kekerasan terhadap wartawan.
"Padahal dalam menangani kasus yang menimpa wartawan harusnya juga menggunakan UU Pers," kata Sasmito di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, 9 Juli 2019.
Sasmito yang tergabung dalam Komite Keselamatan Jurnalis, mencatat ada 21 wartawan yang mengalami berbagai macam kekerasan baik fisik maupun persekusi online (doxing) karena memberitakan kerusuhan 22 Mei. Dari 21
wartawan yang mendapatkan kekerasan tersebut, dua di antaranya berani melaporkannya ke polisi.
Dua wartawan yang berasal dari CNN dan Inews itu mendapatkan kekerasan fisik serta penghalangan liputan oleh polisi. "Kekerasan dan penghalangan liputan ini yang kami harap diselidiki menggunakan UU Pers."
Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin, mengatakan selama ini polis belum menggunakan UU Pers dalam menangani kasus yang menimpa wartawan. Padahal, kekerasan yang dilakukan terhadap wartawan merupakan tindakan yang menghambat kemerdekaan pers. "KUHP hanya untuk memperberat karena ada tindakan kekerasannya."
Baca: Polisi Periksa 2 Saksi Kasus Persekusi Jurnalis di Munajat 212
Dalam UU Pers, kata Ade, disebutkan siapa saja yang sengaja menghambat kemerdekaan pers bisa dipidanakan paling lama dua tahun penjara dan denda paling banyak Rp 500 juta. Sedangkan, pada pasal 170 KUHP tentang tindak kekerasan pelaku bisa paling lama lima tahun enam bulan penjara. "Jadi kami harap UU Pers junto dengan KUHP. Jangan hanya menggunakan KUHP untuk menyelidiki kasus yang terkait kebebasan pers," ucapnya.