TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat perkotaan Yayat Supriatna menilai penerapan sistem ganjil genap 15 jam per hari di Jakarta akan merugikan para pelaku usaha. Alasannya,
pola tata ruang penerapan sistem ganjil genap di Jakarta hampir semua melewati kawasan bisnis.
Baca juga: Ganjil - genap 15 jam, Ini Jawaban Dishub DKI Jakarta
"Dampak paling besar dari penerapan ganjil genap 15 jam yakni pada perekenomian, apalagi melihat pembatasan dari pola ruangnya di DKI Jakarta, kawasan bisnis hampir semua kena," kata Yayat saat di hubungi Tempo, Sabtu, 13 Juli 2019.
Menurut Yayat, penerapan sistem ganjil genap perlu dikaji kembali secara komprehensif. Penerapan pada saat Asian Games 2018 dinilai hanya untuk mengurangi kemacetan dari sisi transpotnya saja. Artinya, hanya mengurangi kepadatan sepanjang 15 jam pada koridor-koridor jalan utama yang dianggap punya persoalan.
Namun, kata dia, jika sekarang diberlakukan lagi karena ingin mengurai kemacetan itu belum relevan dan maksimal. Dia menyebut penerapan ganjil genap ini perlu di kaji kembali apa yang paling dirasakan oleh masyarakat dan siapa yang paling di rugikan.
Biasanya, ujar Yayat, yang paling dirugikan dalam penerapan sistem ganjil genap ini adalah para pelaku usaha. "Paling ribut dan ramai itu para pengusaha. Pengusaha mungkin akan merasa omzetnya turun, apalagi mal, pusat kuliner," kata Yayat.
Tak hanya itu, Yayat menilai, apabila ini diberlakukan sekarang tanpa ada event atau hal yang memang signifikan bisa-bisa para pelaku usaha mengalami penurunan hingga 40 persen.
Baca juga: BPTJ Usul Ganjil Genap Asian Games Lagi, Polisi: Kami Oke Saja
Jadi, kata dia, harusnya penerapan ganjil genap bisa di back up jangan sampai kawasan bisnis atau pusat perkotaan perekonomian di kelilingi sistem ganjil genap. "Bisa terguncang," ujarnya.