TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat tata kota Nirwono Joga menilai DKI Jakarta masih mampu menyelesaikan masalah sampah ibu kota tanpa melibatkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
"Asalkan mau dilakukan dengan konsisten bisa," kata Joga melalui pesan singkat, Kamis, 1 Agustus 2019.
Anggota Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapem Perda) DPRD DKI, Bestari Barus sebelumnya melakukan studi banding mengenai pengelolaan sampah ke Surabaya, Jawa Timur. Politikus Partai NasDem itu bahkan bertanya apakah Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini ingin diboyong ke Jakarta agar masalah sampah teratasi.
Dalam video yang beredar di media sosial, Risma tertawa mendengar penuturan kalau DKI memiliki anggaran soal sampah sampai Rp 3 triliun. Dalam video lainnya, menanggapi isi video yang pertama, Risma menyatakan siap membantu kalau DKI membutuhkan.
Dalam mengatasi sampah ibu kota, menurut Nirwono, langkah pertama yang mesti dilakukan adalah mengumpulan data sampah yang akurat di lapangan. Pengumpulan data sangat dibutuhkan untuk dasar ilmiah membuat kebijakan peta jalan, rencana induk, dan rencana aksi pengurangan dan pengolahan sampah dalam jangka waktu yang jelas.
"DKI juga harus melakukan pemantauan dan pendataan rutin, minimal sebulan sekali, merupakan kuncinya," kata Nirwono.
Sejumlah warga memilah sampah di Bang Sampah di Cililitan, Jakarta, 27 November 2015. Dinas Kebersihan DKI Jakarta meluncurkan program Sistem Informasi Bank Sampah (SiBAS). TEMPO/M IQBAL ICHSAN
Selain itu, peran serta masyarakat berbasis komunitas, dan seluruh pihak serta pemanfaatan teknologi ramah lingkungan ditambah pengembangan infrastruktur pengolahan sampah multi simpul mesti digalakkan.
Yang tidak kalah penting, kata Nirwono, adalah Gerakan 3R+, yakni reduce, repair, reuse, dan recycle harus terus dilakukan untuk menekan produksi sampah secara signifi kan. Pemerintah mesti bisa mengajak masyarakat mengurangi sampah, memperbaiki barang rusak, menggunakan kembali barang yang masih bisa digunakan, serta mendaur ulang sampah harus menjadi dasar pengolahan sampah secara ber kelanjutan.
Pemilihan dan pemilahan sampah organik dan anorganik dilakukan sejak awal, yakni dari lingkup rumah tangga, berbasis komunitas lokal atau permukiman hingga kawasan industri, pasar sampai perkantoran dan tempat wisata. "Proses pengelolaan dan pengolahan sampah dikerjakan secara berjenjang dari tingkat RT sampai kota atau Kabupaten," kata Nirwono.
Menurut Nirwono, jika langkah itu dilakukan DKI, maka pemerintah daerah tidak akan membutuhkan teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah atau intermediate treatment facility atau ITF Sunter, Jakarta Utara.
Nirwono pun menegaskan bahwa pengelolaan sampah di DKI tidak bisa dibandingkan dengan Surabaya yang penduduknya jauh lebih sedikit dan produksi sampahnya juga berbeda. "Yang membedakan keseriusan saja dalam mengelola sampah," kata dia.