TEMPO.CO, Jakarta -Greenpeace Indonesia mengapresiasi langkah Anies Baswedan mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara yang bertepatan dengan digelarnya sidang perdana gugatan warga atau citizen law suit tentang polusi udara Jakarta pada tanggal 1 Agustus lalu.
"Ini menunjukkan respons dari Gubernur Anies mengenai polusi udara setelah mendapatkan banyak perhatian publik dan warganet," ujar Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 3 Agustus 2019.
Menurut Bondan, Instruksi Gubernur itu mengharuskan adanya monitoring dan pengendalian polusi udara dari pembangkit listrik. Aturan tersebut juga mewajibkan gedung, sekolah, dan fasilitas kesehatan yang dimiliki pemerintah daerah untuk melakukan transisi energi. Transisi yang dimaksud adalah dari energi listrik ke energi surya, melalui pemasangan panel atap surya.
Bondan juga berujar, Instruksi Gubernur Anies bakal memperluas kawasan ganjil genap, menerapkan congestion pricing di wilayah transportasi umum terintegrasi, mewajibkan uji emisi, memperluas trotoar bagi pejalan kaki, serta memonitor emisi dari pembangkit listrik. Namun menurut dia, masih ada satu langkah lagi yang harus dilaksanakan.
"Yaitu melakukan inventarisasi emisi secara berkala sebagai dasar kajian ilmiah untuk mengetahui sumber pencemaran udara Jakarta," ujar Bondan.
Dengan inventaris emisi, ujar Bondan, pengendalian polusi bisa dilakukan langsung pada sumbernya. Sehingga, menurut Bondan, solusi yang diambil juga akan lebih sistematis dan terukur.
Bondan melanjutkan, hal yang juga harus dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah menyediakan alat ukur kualitas udara yang memadai sehingga bisa mewakili luasan Ibu Kota dan datanya bisa dengan mudah diakses oleh publik.
Selain itu, Greenpeace menilai diperlukan sistem peringatan agar masyarakat bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi kualitas udara yang buruk, seperti menggunakan masker saat beraktivitas di luar ruang dan tidak melakukan olahraga saat kualitas udara sedang tidak sehat.
Sedangkan Pemerintah Pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kata Bondan, juga harus memperketat baku mutu udara ambien nasional yang sudah tidak diperbaharui selama 20 tahun. Sebagai perbandingan, baku mutu udara ambien untuk konsentrasi PM 2.5 per hari menurut standar nasional adalah 65 ug/m3 sedangkan menurut WHO adalah 25 ug/m3. Ini berarti, kata Bondan, standar nasional masih 3 kali lipat lebih lemah dibandingkan standar WHO.
Terlebih lagi, kata Bondan, Anies memiliki kewenangan untuk menentukan standar baku mutu udara yang lebih baik dibandingkan standar nasional.
Pada dokumen Instruksi Gubernur Anies itu, kata Bondan, juga disebutkan bahwa penanganan polusi tidak bisa hanya dilakukan oleh pihak tertentu saja.
“Di sini diperlukan dukungan dan kerja sama dengan wilayah-wilayah yang berbatasan dengan DKI Jakarta, seperti Banten dan Jawa Barat untuk merumuskan solusi bersama. Pemerintah Provinsi Banten dan Jawa Barat juga harus segera merespon masalah pencemaran udara ini,” kata Bondan.