TEMPO.CO, Jakarta - Penyidik Subdirektorat 2 Harta Benda dan Bangunan Tanah Polda Metro Jaya tidak menutup kemungkinan adanya intansi yang terlibat melakukan proses balik nama sertifikat rumah dalam kasus penipuan berkedok notaris palsu.
"Sedang kita dalami ke arah sana. Karena kenyataannya ada sertifikat balik nama, padahal si penjual tidak pernah membayar pajak sebagai penjual," ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Suyudi saat dihubungi, Rabu, 7 Agustus 2019.
Menurut Suyudi, proses balik nama sertifikat setidaknya harus memenuhi syarat adanya keterangan pajak penjual, pajak pembeli dan verifikasi. Sementara dalam kasus notaris palsu yang sedang diselidiki, korban merasa tidak pernah menyerahkan data tersebut.
"Apakah ini memang dipalsukan sama mereka atau ada kerja sama, ini yang kita dalami," Suyudi menegaskan.
Dari berbagai sumber yang dikumpulkan Tempo, proses balik nama sertifikat tanah memiliki sejumlah syarat. Di antaranya penjual dan pembeli menandatangani Akta Jual Beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT);
Penjual telah melunasi pajak penghasilan (PPh), sementara pembeli telah melunasi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); kemudian, Kantor PPAT akan mengurus balik nama ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan disertakan sertifikat asli, akta jual beli, fotokopi KTP penjual dan pembeli, bukti pelunasan PPh, dan bukti pelunasan BPHTB.
Dalam kasus ini, polisi sebelumnya menangkap empat orang tersangka yaitu D, A, K, dan H. Kemarin, Selasa, 6 Agustus 2019 polisi kembali meringkus tiga pelaku lain. Sedangkan jumlah korban hingga hari ini menjadi lima orang.
Dari laporan tiga korban awal yang menjadi landasan penyelidikan ini, polisi menghitung kerugian yang ditimbulkan oleh jaringan penipu notaris palsu sudah mencapai Rp 214 miliar.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono menjelaskan para tersangka yang sudah ditangkap memiliki peran sebagai pencari korban, berpura-pura sebagai notaris, memalsukan sertifikat tanah, hingga mengontrak rumah dan membuat plang palsu notaris.
"Penipuan ini dikemas secara rapih, rumah yang jadi sasaran biasanya di atas Rp 15 miliar, makanya (korban) minta tolong dijual, tapi malah disalahgunakan pelaku," kata Argo, Senin, 5 Agustus 2019.
Menurut Argo, pengungkapan kasus ini berawal dari laporan masyarakat ke polisi. Masyarakat mendapatkan surat tagihan dari bank mengenai pembayaran agunan sertifikat tanah mereka. Padahal, mereka tak pernah mengagunkan sertifikat itu.
Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa para korban diketahui pernah meminjamkan sertifikatnya kepada notaris abal-abal bernama Idham. Alasan korban meminjamkan sertifikat tersebut untuk urusan jual beli rumah.
"Jadi, pelaku meminjam sertifikat tanah korban dengan alasan untuk memeriksa keasliannya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN)," kata Argo.
Korban percaya dengan para pelaku karena proses peminjaman sertifikat dilakukan di kantor notaris Idham yang berada di Jalan Tebet Timur, Jakarta Selatan. Padahal kantor notaris itu palsu. Idham merupakan notaris di Batam yang sudah pensiun.
Setelah sertifikat diserahkan, pelaku memalsukan dan mengembalikan kepada korban. Sedangkan sertifikat asli digadaikan ke bank. Menurut polisi sertifikat tanah yang dipalsukan sangat mirip dengan yang asli sehingga korban tidak curiga hingga mendapat surat tagihan dari bank.