TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu anak yang terseret pidana kasus kerusuhan 22 Mei mengaku hanya diajak temannya untuk ikut dalam aksi di depan Gedung Bawaslu. Anak berusia 16 tahun itu menceritakan, ia diajak oleh dua sempat dilarang untuk ikut aksi tersebut oleh orang tuanya namun tetap membandel.
"Udah dilarang cuma saya batu (keras kepala)," kata dia saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin, 12 Agustus 2019.
Dia mengaku tak tahu-menahu maksud massa berbondong-bondong datang ke depan Gedung Bawaslu pada 22 Mei 2019. Dia juga tak membawa senjata apapun saat itu.
"Saya di situ enggak ada niatan buat mana yang menang mana yang kalah (Pilpres 2019), cuma ikut-ikutan saja," ujar dia.
Apes bagi dia, polisi menciduknya saat sedang beristirahat di depan sebuah gedung di Jalan KH. Wahid Hasyim, Jakarta Pusat seorang diri. Dua orang temannya yang tadi mengajak untuk ikut berdemo telah melarikan diri.
Kebingungan, bocah tersebut lantas hanya bisa terdiam ketika polisi bertubi-tubi menghajar sekujur tubuhnya dengan rotan.
"Saya nangis saja," ujar dia.
Setelah dipukuli, dia mengaku polisi membawanya ke dalam Gedung Bawaslu kemudian dipindahkan ke Polda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan. Dia berujar tak pernah ikut-ikutan demonstrasi sebelum aksi 22 Mei ini. Saat aksi pun, dia mengaku sempat memegang batu tapi batal dilempar ke arah aparat.
Polisi menetapkan 10 anak sebagai tersangka. Mereka diduga terlibat dalam kerusuhan 22 Mei di Jakarta. Mereka mulai menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 5 Juli 2019.
Namun, pengadilan memberikan diversi kepada lima terdakwa tersebut. Sementara lima anak lainnya harus menjalani sidang putusan pekan lalu dan kemarin. Kelimanya divonis bebas dengan pertimbangan masih anak di bawah umur dan hanya ikut-ikutan. Proses pengadilan terhadap kelima tersangka anak-anak yang terlibat dalam kerusuhan setelah pengumuman hasil Pilpres 2019 itu sendiri dibuat tertutup seperti tercantum dalam undang-undang pengadilan anak.