TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk perkara gugatan perdata Kivlan Zen terhadap Wiranto, Antonio Simbolon, berharap kasus ini berakhir dengan perdamaian. Kedua belah pihak diberi waktu 42 hari kepada kedua pihak untuk melakukan mediasi.
"Untuk dicapainya perdamaian di antara kedua belah pihak, diharapkan pihak prinsipal untuk bisa menghadiri mediasi," ujar Antonio di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis, 15 Agustus 2019.
Antonio menjelaskan batas waktu mediasi akan berakhir pada 26 September 2019 dan telah dimulai hari ini. Jika mediasi berakhir damai, maka kedua pihak akan menandatangani akta perdamaian dan sidang perkara gugatan dihentikan.
"Jika tidak ada damai, kita akan lanjut sidang di hari yang sama dengan agenda pembacaan gugatan" ujar Antonio.
Kuasa hukum kedua pihak menyatakan setuju atas keputusan hakim. Menurut mereka, mediasi di perkara hukum perdata sudah sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.
"Kami ikut dengan keputusan majelis hakim," ujar kuasa hukum Wiranto, Adi Warman.
Sebelumnya, Kivlan yang merupakan mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) mendaftarkan gugatan kepada Wiranto di Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk membayar uang sejumlah Rp 8 miliar. Uang itu, menurut Kivlan, sebagai pengganti dana yang dia keluarkan dari kantong pribadinya saat pembentukan Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa atau Pam Swakarsa pada 1998.
"Terbesar bayar makan untuk 30 ribu orang selama 8 hari utang di warung padang se-Jakarta, transportasi, beli alat komunikasi, mobil PAM, 5 meninggal, dab lain-lain," ujar kuasa hukum Kivlan Zen, Tonin Tachta.
Tonin menjelaskan, untuk membayar seluruh pengeluaran pasukan itu, Kivlan harus menjual rumah, mobil, hingga berutang. Menurut Tonin, Kivlan melakukan hal itu karena merasa bertanggung jawab atas jabatan komandan yang diembannya.
Wiranto sendiri dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab karena saat itu menjabat sebagai Panglima TNI. Kivlan mengaku pernah meminta pergantian dana tersebut kepada Wiranto maupun kepada Presiden B.J. Habibie yang saat itu sedang menjabat.
Namun dana yang digelontorkan pemerintah hanya sebesar Rp 400 juta saja. Kivlan pun terus meminta kekurangan penggantian dana itu ke pemerintah. Hingga akhirnya pada April 2019, Kivlan Zen tak kunjung mendapat kejelasan soal dana tersebut dan menganggap sikap pemerintah itu sebagai sebagai perbuatan melawan hukum dan menggugatnya ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur.