TEMPO.CO, Jakarta - Pengacara Kivlan Zen, Tonin Tachta, berharap Wiranto mau menemui kliennya untuk menyelesaikan masalah gugatan perdata sebesar Rp 8 miliar yang tengah bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Dia menyatakan bahwa Kivlan tak bisa menemui Wiranto karena sedang menjalani tahanan di Rumah Tahanan Guntur, Jakarta Selatan.
"Kalau nanti mediasinya harus head to head dan Pak Kivlan harus hadir, ya tergugat (Wiranto) punya kewenangan mohon dibantu, mediasinya di Guntur," ujar Tonin di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis, 15 Agustus 2019.
Tonin mengatakan pihaknya berharap mediasi antara kedua pihak ini dapat berakhir damai. Sebab, menurut dia, perkara perdata sebaiknya berakhir tanpa gugatan.
"Damai itu indah kan?" kata dia.
Sidang perdana gugatan perdata yang diajukan Kivlan Zen terhadap Wiranto berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada hari ini. Ketua Majelis Hakim perkara tersebut, Antonio Simbolon, memberikan waktu 42 hari untuk kedua pihak melakukan mediasi ihwal perkara tersebut. Antonio menunjuk Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nelson J Marbu sebagai mediator.
Antonio mengatakan batas waktu mediasi adalah 26 September 2019. Jika mediasi menghasilkan kesepakatan damai, maka perkara akan dihentikan dan kedua pihak menandatangani akta perdamaian.
Kivlan yang merupakan mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) mendaftarkan gugatan perdata kepada Wiranto terkait dengan pembentukan Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa atau Pam Swakarsa pada 1998. Dalam gugatannya, Kivlan menyatakan telah mengeluarkan dana sebesar Rp 8 miliar saat itu.
Dana tersebut, menurut Tonin habis untuk membayar konsumsi 30 ribu orang selama delapan hari, transportasi dan keperluan operasional lainnya. Dia mengaku mendapatkan dana itu dari hasil menjual rumah, mobil hingga berhutang.
Pria yang kini ditahan dalam kasus kepemilikan senjata api ilegal tersebut mengaku pernah mendatangi Wiranto yang saat itu menjabat sebagai Panglima TNI untuk meminta pergantian. Dia juga meminta pergantian kepada Presiden B.J. Habibie yang saat itu sedang berkuasa. Namun, menurut dia, pemerintah saat itu hanya mengganti uangnya sebesar Rp 400 juta.