TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti sekaligus tokoh budaya Betawi, Yahya Andi Saputra, mendukung rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta.
"Itu program pemerintah. Dari dulu sudah ada wacananya. Silakan kalau mau pindah ke mana saja," kata Yahya saat dihubungi Tempo, Senin, 19 Agustus 2019.
Rencana pemindahan ibu kota negara telah diutarakan langsung Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Ibu kota negara rencananya bakal dipindahkan ke Pulau Kalimantan.
Namun, kata Yahya, nilai Jakarta sebagai ibu kota negara tidak akan bisa pudar. Sebab, Jakarta mempunyai sejarah panjang dalam proses berdirinya negara ini. "Jakarta berasal dari pergumulan sejarah yang kental. Republik ini berproses dari Jakarta," ujarnya.
Yahya mengatakan Jakarta saat itu dianggap tepat menjadi ibu kota negara karena munculnya berbagai pergerakan nasional di kota ini. Selain itu, Jakarta dianggap sebagai miniatur Indonesia.
Bahkan, jika tidak ada pergerakan di Jakarta, maka negara ini belum merdeka. "Peran Jakarta tidak bisa lepas dari sejarah berdirinya negara ini," kata Yahya.
Yahya mengatakan pemerintah mesti mempertimbangkan dengan matang lokasi yang bakal dipilih menjadi ibu kota. Sebab, pemindahan ibu kota ada dampak positif dan negatifnya.
Salah satu dampak negatifnya, kata Yahya, penduduk asli ibu kota negara bisa tersingkir seperti masyarakat Betawi di Jakarta. Pemerintah mesti memberikan pijakan yang kuat agar putra daerah wilayah yang akan dijadikan ibu kota bisa bertahan.
Sedangkan, salah satu dampak positifnya adalah Jakarta akan bisa menunjukkan jati dirinya setelah lepas sebagai ibu kota negara. "Warga Betawi yang bertahan bisa semakin kokoh menunjukan identitas," kata Yahya.
Meski sudah menyatakan akan ada pemindahan ibu kota, pemerintah pusat belum menyebut secara tepat lokasi di Kalimantan yang akan menjadi ibu kota baru. Bappenas disebut tengah melakukan kajian secara komperhensif.