TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa kerusuhan 22 Mei, Muhammad Harry, keberatan dengan dakwaan jaksa penuntut umum. Kuasa hukum Harry, Kamaliyah Turosidah, memaparkan dua poin keberatan dalam sidang pembacaan eksepsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu 21 Agustus 2019.
Kamaliyah mengatakan kliennya tidak didampingi penasihat hukum ketika menjalani pemeriksaan oleh polisi. Padahal, di semua tingkat pemeriksaan selama dalam proses peradilan, terdakwa wajib menunjuk penasihat hukum sesuai tertuang dalam Pasal 56 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Namun, tak ada kuasa hukum yang mendampingi Harry sewaktu pemeriksaan. Karena itu, Kamaliyah menyebut pemeriksaan polisi dan jaksa sebelum masuk tahap persidangan tidak berdasar hukum.
"Artinya pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan yang tidak sah dan batal demi hukum," kata Kamaliyah.
Pertimbangan kedua bahwa dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dinilai cacat hukum. Sebab, jaksa tak memenuhi syarat formal dalam membuat surat dakwaan Harry. Jaksa tidak mencantumkan tanggal. Sementara Pasal 143 KUHAP mengatur surat dakwaan harus memenuhi dua syarat formal.
Pertama, dalam surat dakwaan tertulis tanggal dan ditandatangangi jaksa, memuat nama lengkap, tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa.
Kedua, surat dakwaan harus cermat, jelas, dan lengkap menjelaskan tindak pidana yang didakwakan. Selanjutnya mendetail waktu serta tempat tindak pidana atau disebut tempus delicti dan locus delicti.
"Sehingga kekurangan syarat formal tersebut mengakibatkan surat dakwaan tidak sempurna sebagai akta resmi yang bernilai sebagai surat dakwaan. Karenanya kelalaian mencantumkan tanggal dapat dijadikan alasan untuk membatalkan surat dakwaan," jelas dia.
Untuk itulah, Kamaliyah memohon agar hakim menerima dan mengabulkan eksepsi tersebut. Selanjutnya membatalkan surat dakwaan, dan menetapkan pemeriksaan perkara terhadap Harry tidak dilanjutkan.
Perkara Harry menjadi satu dengan lima terdakwa lain, yakni Ricky Putra M. Noor, Syahril Romdon, Anwar Ajari, Kholilullah, dan Yusril Hafifi. Pekan lalu jaksa mendakwa keenamnya menyerang polisi dengan melempar batu pada kerusuhan 22 Mei tersebut. Padahal, polisi telah meminta mereka segera membubarkan diri pada malam itu.
Akibat demo menggugat hasil perhitungan suara Pilpres 2019 yang berakhir kisruh tersebut, mereka terancam hukuman pidana yang diatur dalam Pasal 212 juncto 214 ayat 1 KUHP atau Pasal Pasal 170 ayat 1 juncto Pasal 56 ayat 2 KUHP atau Pasal 358 juncto Pasal 56 ayat 2 KUHP atau Pasal 216 ayat 1 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau Pasal 218 KUHP.