TEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya kembali meringkus tujuh tersangka penipuan berkedok notaris palsu. Para mafia tanah tersebut adalah SD sebagai pemodal kelompok ini; S dan MGR berperan sebagai staf Pejabat Pembuat Akta Tanah; HM dan K selaku pembuat dan calo sertifikat hak milik (SHM); dan RK sebagai calon pembeli; serta A sebagai staf notaris palsu.
"Dua orang warga menjadi korban penipuan kelompok ini," ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Suyudi saat konferensi pers di kantornya, Kamis, 22 Agustus 2019.
Suyudi menjelaskan, modus operasi yang dilakukan kelompok ini adalah dengan berpura-pura akan membeli rumah korban. Kemudian, para tersangka membujuk korban untuk menitipkan sertifikat rumah asli beserta identitas lain seperti Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga dan Izin Mendirikan Bangunan kepada notaris palsu yang telah disiapkan dengan alasan untuk pemeriksaan di Badan Pertahanan Nasional (BPN).
"Kemudian seluruh data dipalsukan, dan dibuat seolah-olah terjadi jual beli antara pemilik yang merupakan figuran dengan salah satu tersangka sehingga korban kehilangan atas propertinya," ujar Suyudi.
Setelah mendapatkan sertifikat tanah tersebut, Suyudi melanjutkan, para tersangka menggunakannya sebagai agunan untuk meminjam sejumlah uang ke perusahaan.
Bobby menyebutkan, korban pertama bernama Bobby Suhardiman yang memiliki rumah di Jalan Iskandarsyah Raya, Melawai, Jakarta Selatan. Para tersangka mengaku sepakat akan membeli rumah itu dengan harga yang ditetapkan korban yakni Rp 64 miliar.
Pada Oktober 2018, korban menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) di kantor notaris palsu bernama Budi Aryanto. "Saat penandatanganan itu, diduga sertifikat sudah ditukar dengan yang palsu tanpa sepengetahuan korban," kata Suyudi.
Pada November 2018, lanjut Suyudi, sertifikat rumah tersebut tiba-tiba sudah berganti kepemilikan atas nama tersangka. Padahal, korban merasa belum pernah menghadap Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pelaku lantas menggunakan sertifikat sebagai agunan untuk pinjam uang dari PT Karya Teknik Multifinance.
Korban lainnya adalah Lieke Amalia yang memiliki sebidang tanah di Komplek Liga Mas, Pancoran, Jakarta Selatan. Menurut Suyudi, para pelaku setuju membeli lahan itu seharga Rp 24 miliar.
Pada 9 Agustus lalu, dibuatlah PPJB di kantor notaris palsu yang sama dengan kasus Bobby dengan pemberian down payment sebesar Rp 200 juta. "Kemudian saat melakukan pengecekan SHM, pelaku mengganti dengan sertifikat palsu," kata Suyudi.
Para pelaku kemudian mendatangi kantor notaris resmi dengan membawa SHM asli untuk dilakukan jual beli dengan nilai transaksi Rp 19,5 miliar. Saat itu, seorang tersangka berpura-pura sebagai Lieke agar jual beli dan balik nama dapat dilakukan. Para pelaku kemudian menggunakan sertifikat itu sebagai agunan untuk meminjam uang Rp 6,8 miliar dari sejumlah orang.