TEMPO.CO, Bogor - Ratusan warga Kampung Naringgul, Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor yang menjadi korban pembongkaran bangunan di Puncak pada Kamis, 29 Agustus 2019 meminta agar pemerintah Kabupaten Bogor tidak melanjutkan pembongkaran itu.
"Warga minta agar kami dimanusiakan oleh pemerintah Kabupaten Bogor, karena setelah rumah kami dibongkar kami tidak tahu harus tinggal dimana," kata Deden Supriatna, 60 tahun, salah seorang warga Naringgul.
Deden yang sudah 20 tahun tinggal di lokasi tersebut mengatakan pembongkaran oleh pemerintah itu tak disertai solusi bagi warga. "Tidak ada solusi yang diberikan Pemkab setelah membongkar rumah kami, dan mereka tidak memikirkan kami mau tinggal dimana setelah ini," kata dia.
Menurut Deden, jika pembongkaran dilakukan, maka rumah milik ratusan warga dari 54 kepala keluarga di Kampung Naringgul, yang lokasinya berada di tengah hamparan kebun teh milik PTPN Gunung Mas akan hilang dibongkar paksa, "Kampung ini mulai ada dari tahun 1970 lalu, karena dulunya warga disini merupakan pekerja pemetik teh, dan sekarang diusir dan dibongkar karena akan dijadikan rest area Puncak," kata dia.
Deden pun menyesalkan tindakan pemerintah yang membongkar puluhan bangunan warga yang bekerja sebagai buruh pemetik daun teh milik PT Sumber Sari Bumi Pakuan (SSBP) Perkebunan Teh Ciliwung hanya untuk rest area, "Pemerintah lebih memilih mengusir warga dan membongkar tempat tinggal kami hanya untuk tempat peristirahatan atau rest area," kata dia.
Ia meminta Pemkab Bogor mengkaji ulang dan tidak melanjutkan pembongkaran karena rumah yang didirikan warga berada di lahan yang sudah tidak produktif. "Di tempat itu mereka membangun rumah sendiri berupa bedeng dan bisa seperti sekarang harus dihancurkan hanya gara-gara untuk rest area wisata puncak," kata Deden.
Sementara itu, Kepala Bidang Penegak Perundang-Undangan Daerah Satpol PP Kabupaten Bogor, Agus Ridhallah mengatakan puluhan bangunan liar di kampung Naringgul yang dibongkar paksa petugas gabungan itu sudah masuk dalam target bangunan liar sejak tahun 2016. Pihaknya sudah memberikan tiga kali surat peringatan dan penyegelan agar warga membongkar sendiri bangunannya.
"Bangunan di Kampung Naringgul sudah disegel beberapa waktu karena rumah dan tempat usaha mereka yang berdiri di atas lahan perkebunan teh," kata Agus.
Selain itu, Agus menyebut Satpol PP sudah memberikan waktu cukup lama agar warga mengurus administrasi perizinan seperti IMB. Bahkan, surat peringatan pertama sudah diterbitkan sejak empat tahun silam sehingga tidak ada lagi toleransi bagi mereka untuk meminta menunda eksekusi bangunan liar itu. "Kami hanya menegakan perda bangunan tanpa izin. Memang di Naringgul dari dulu sekitar tahun 2016 memang sudah mau kita bongkar tapi sempat tertunda," kata dia.