TEMPO.CO, Jakarta - Para pencari suaka yang tinggal di gedung eks Komando Distrik Militer (Kodim), Perumaahan Daan Mogot Baru, Kalideres, Jakarta Selatan, berharap ada bantuan yang berkelanjutan dari United Nation High Commisioners for Refugee (UNHCR) Indonesia.
"Sambil menunggu proses karena lama, kami berharap disediakan tempat tinggal dan dikasih makan," kata Muhammad Ali, 22 tahun, pencari suaka asal Afghanistan saat Tempo temui di gedung eks Kodim, Kalideres, Jakarta Barat, pada Jumat, 30 Agustus 2019.
Ali merujuk pada proses peralihan para pengungsi ke negara pemberi suaka atau negara ketiga. Pihak UNHCR, kata dia, akan mencarikan negara mana yang bersedia menerima mereka untuk menetap sebagai pengungsi.
"Kalau dari Indonesia ada empat tujuan negara ketiga, yaitu Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Selandia Baru," kata Ali. "Kami menunggu kabar dari UNHCR negara mana yang menerima," ujar dia.
Ali mengaku sudah enam tahun berada di Indonesia. Ia tiba seorang diri pada tahun 2013. Sementara orang tuanya menjadi pencari suaka di Pakistan. Kata Ali, mereka meninggalkan Afghanistan dengan alasan keamanan lantaran konflik yang tak kunjung usai di sana.
Pria yang sudah fasih berbahasa Indonesia itu berharap UNHCR dapat mempercepat proses peralihan mereka ke negara ketiga. "Dulu saya datang ke Indonesia masih berusia 16 tahun dan sekarang sudah 22 tahun. Enam tahun saya habiskan hanya untuk menunggu," kata dia.
Senada dengan Ali, pemuda asal Afghanistan lain yang enggan disebut namanya juga memiliki harapan yang sama. Ia meminta UNHCR memberi kepastian terhadap nasib mereka.
Selama dua tahun, pemuda berusia 19 tahun itu luntang-lantung di Indonesia bersama kedua orang tuanya. "Selama ini belum ada kepastian. UNHCR hanya meminta kami bersabar dan menunggu," tutur dia.
Representatif UNHCR di Indonesia Thomas Vargas menjelaskan alasan para pengungsi tersebut tak kunjung mendapatkan suaka. "Karena hanya kurang dari 1 persen pengungsi di seluruh dunia yang bisa resettlement (berimigrasi) ke negara ketiganya," ujar Thomas di kantornya, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin malam, 26 Agustus 2019.
Menurut Thomas, rendahnya angka resettlement itu membuat pencari suaka harus terdampar di negara singgah seperti Indonesia dan Malaysia dalam waktu lama. Mereka harus bertahan hidup hingga negara pemberi suaka seperti Australia dan Amerika Serikat membuka keran migrasi yang lebih luas.
Mengingat kuota yang sangat kecil di setiap negara, Thomas menjelaskan, saat ini resettlement tak lagi menjadi solusi utama bagi para pengungsi itu. Ia menjelaskan UNHCR tengah mencari cara agar 14 ribu pengungsi di Indonesia dapat hidup mandiri dan tak lagi bergantung pada bantuan pemerintah.
Salah satunya dengan membuat program agar para pengungsi dapat bekerja di sektor informal yang dikelola oleh orang Indonesia. Akan tetapi, kata Thomas, sampai saat ini program untuk para pencari suaka itu masih dalam proses penggodokan antara UNHCR bersama pemerintah dan lembaga.
Menurut Thomas, kemungkinan program ini baru efektif akan berjalan di awal tahun 2020. "Kami akan memastikan program ini tak melanggar aturan tentang orang asing yang bekerja di Indonesia," ujarnya.