TEMPO.CO, Jakarta -Terdakwa kerusuhan 22 Mei, Ahmad Abdul Syukur, dituntut melanggar Pasal 170 juncto Pasal 56 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Karena perbuatannya itu, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Abdul dipenjara delapan bulan.
"Menuntut supaya majelis hakim memutuskan menghukum terdakwa Ahmad Abdul Syukur, 24 tahun, dengan pidana penjara selama delapan dan dikurangi selama terdakwa berada didalam tahanan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan," kata jaksa, Indra Sinaga, di ruang sidang Pangadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 4 September 2019.
Jaksa menuntut Abdul telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan terhadap orang atau barang sesuai yang tertera dalam dakwaan. Dakwaan yang dimaksud berbunyi bahwa Abdul berada di samping Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat pada 22 Mei 2019 pukul 22.00 WIB.
Menurut Indra, Abdul dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang.
Awalnya, Abdul seorang diri datang ke kawasan Gedung Bawaslu untuk berjualan topi, gantungan kunci, dan bendera. Akan tetapi, dia justru ikut berunjuk rasa dengan massa. Abdul juga tak segera pergi ketika aksi memanas pada malam hari. Dia disebut turut melemparkan batu dan botol berisi air kepada aparat.
"Bahwa kemudian terdakwa hadir dan ikut bergabung dalam massa aksi yang terjadi pada tanggal 22 Mei 2019 di Bawaslu pusat adalah untuk mendukung kegiatan massa aksi pendukung pasangan calon presiden nomor urut 02, Prabowo-Sandi," ujar Indra.
Sebelumnya, jaksa mendakwa Abdul terlibat kerusuhan 22 Mei. Dia adalah mahasiswa aktif di Bina Sarana Informatika (BSI), Cengkareng, Jakarta Barat. Pria 24 tahun itu juga dijerat dengan undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena telah menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa benci melalui pesan Whatsapp. Namun, pasal ini tak masuk dalam tuntutan.