TEMPO.CO, Jakarta - Sudah lebih dari sewindu asap dupa tak lagi membubung dari Kampung Gaplok, Kramat, Jakarta Pusat. Bunyi-bunyian teyan, kenong, kempul, kendang, dan gong juga sudah lama tak terdengar dari lokasi yang lebih dikenal sebagai kampung pengamen ondel-ondel itu.
Agus Hermawan, pemilik Sanggar Resos Palaksi (Respal), ingat semua ritual dan kelengkapan untuk mengiringi tarian boneka raksasa itu memudar sejak 2010. "Kalau orang tua dulu sebelum mengamen ada ritual bakar kemenyan dan masih menggunakan alat tradisional," kata dia.
Gilang Ronaldo, 11 tahun, baju merah, bersama Malik Ahmad Ramadan (15) alias Madun, dan Martin Nurohim (25) alias Katek, saat ditemui sebelum memulai perjalanan nandak atau mengamen ondel-ondel pada Januari 2019. TEMPO/IMAM HAMDI
Kelompok Respal yang berdirikan pada 2011 mengikuti peralihan itu. Saat awal berdiri, kata Agus, kelompok ini masih sempat menggunakan alat-alat musik tradisional. Memasuki 2013, hampir seluruh pengamen yang tergabung di Respal menggantinya dengan musik rekaman.
Agus menyadari menjamurnya pengamen ondel-ondel menggerus nilai budaya Betawi di dalamnya. Pemilik Sanggar Alfatir, Deni Eliansyah, mengaku yang sama. Namun dia punya alasan yakni minimnya ruang untuk kebudayaan Betawi, selain "Sekarang mengamen sudah kebutuhan sebagian warga di sini untuk mencari nafkah."
Fian Alfian, 24 tahun, termasuk pengamen ondel-ondel dua zaman. Fian telah mengamen sejak berusia 15 tahun dan sempat merasakan ritual bakar kemenyan sebagai syarat utama untuk nandak. Termasuk hanya bermain untuk ritual pernikahan dan tolak bala. "Tapi sekarang yang simpel-simpel saja," ujarnya.
Suasana Kampung Ondel-ondel Gaplok di Jalan Kembang Pacar, Kelurahan Kramat, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, 22 Juni 2019. Tempo/ Imam Hamdi
Tak seperti Fian, Gilang Ronaldo tak memahami bahwa ondel-ondel yang saat ini menjadi ikon DKI Jakarta itu pernah disakralkan. Bagi bocah yang masih duduk di bangku SD ini, membawa ondel-ondel ke jalan adalah cara untuk menghasilkan uang. "Saya ikut ngamen enak aja dapat duit," ujarnya.
Ketua Penelitian dan Pengembangan Lembaga Kebudayaan Betawi, Andi Yahya, menyatakan prihatin dengan perkembangan itu. Dia berharap pemerintah DKI Jakarta mau mengatur para pengamen ondel-ondel itu sembari menguatkan kembali seni dan budaya Betawi.
"Tapi yang sekarang terlihat, ondel-ondel dimanfaatkan untuk mencari duit tanpa menghiraukan pakem atau tata cara ngamen," kata Andi sambil menambahkan, "Pengamen juga harus menjunjung tinggi martabat kesenian."