TEMPO.CO, Jakarta - Jurnalis Kompas.com Nibras Nada Nailufar diintimidasi seorang anggota polisi saat meliput peristiwa kerusuhan di komplek parlemen yang pecah dari Selasa sore hingga malam, 24 September 2019. Nibras yang biasa dipanggil Ajeng itu menceritakan kejadian yang menimpanya.
Dia menceritakan kejadian tersebut bermula ketika ia hendak kembali ke kantornya di kawasan Palmerah. Ajeng berjalan kaki dari Graha Jala Puspita sekitar pukul 17.30 WIB melewati Jalan Gerbang Pemuda.
Kebetulan saat itu massa demonstran sedang berkumpul di bawah jalan layang di area itu. Keadaan memanas ketika polisi bersiap menembakkan gas air mata dari atas jalan layang.
"Setelah saya teriak saya wartawan, saya disuruh masuk ke Jakarta Convention Center (JCC). Karena rupanya Jalan Gerbang Pemuda sudah penuh gas air mata," ujar Ajeng secara tertulis, Rabu, 25 September 2019.
Ajeng mengatakan, dia pun sempat tertahan di dalam JCC. Sekitar pukul 19.00, dia melihat polisi dan tentara yang baru saja menghadapi massa dalam kerusuhan masuk ke dalam JCC. Dia melihat, polisi menggiring tiga orang terduga demonstran ke dalam gedung.
Seorang di antaranya diperkirakan berumur di atas 30 tahun dan tampak mengenakan kaos dan celana panjang. Pria itu disebut Ajeng dipapah dan digebuki oleh sejumlah polisi hingga terkulai lemas.
"Saya spontan merekam sambil meneriaki agar mereka berhenti. Mereka pun sadar sedang direkam dan balik memelototi saya karena merekam," kata Ajeng. "Saya merekam itu dari balik dinding kaca JCC. Tiba-tiba ada seorang pejabat polisi yang meminta saya berhenti merekam,."
Ajeng coba menjelaskan kepada polisi tersebut bahwa dirinya adalah wartawan dan berhak meliput kejadian itu. Namun, polisi itu malah memarahinya. Ajeng mengaku telah meneriaki balik bahwa pekerjaannya dilindungi oleh Undang-Undang Pers.
"Tapi dia tetap memaksa hapus, tapi saya tolak dan saya berjalan pergi keluar," kata Ajeng.
Seorang anggota polisi kembali meminta Ajeng untuk menghapus rekaman penganiayaan tersebut. Ponsel Ajeng coba dirampas. Ajeng segera memasukannya ponselnya tersebut di balik pakaian dalam.
"Tas saya ditarik, tangan saya ditarik, mereka nyaris menyerang sampai akhirnya komandannya itu melindungi saya dan membawa saya ke dalam JCC. Saya diminta menghapus video dan diminta mengerti bahwa pasukan Brimob sedang mengamuk," kata Ajeng.
Ajeng mengaku terus dipegangi dan disuruh duduk. Ada dua polisi yang kemudian menanyainya. Ajeng lantas menunjukkan ID Pers dan nama lengkapnya. Mereka disebut terus memberi pengertian bahwa banyak polisi yang terluka. Ajeng diminta menggunakan nurani untuk tidak mempublikasikan video maupun insiden itu.
"Saya sempat izin ke kamar mandi dengan alasan mau pipis. Di kamar mandi saya segera mengabarkan kantor dan mengirim video itu. Setelah itu, saya minta diizinkan pulang. Akhirnya saya dibolehkan keluar dari JCC ke arah GBK," ungkap Ajeng.
Aliansi Jurnalis Jakarta atau AJI Jakarta pun mencatat setidaknya ada empat tindak kekerasan dan intimidasi yang dilakukan polisi dan warga dalam kerusuhan di kawasan Senayan Selasa kemarin. Ketiga jurnalis lainnya yang mengalami intimidasi adalah Vanny El Rahman dari IDN Times, Tri Kurnia Yunianto dari Katadata dan Febrian Ahmad dari Metro TV.
Vanny dan Tri bahkan disebut sempat mendapatkan pemukulan dari oknum polisi sementara kendaraan Febrian Ahmad dirusak massa. AJI Jakarta mendesak polisi untuk memproses hukum segala bentuk kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis karena profesi jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang Pers.