TEMPO.CO, Jakarta - Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menobatkan bulan September 2019 sebagai September berdarah. Alasannya, banyak insiden kemanusiaan yang terjadi selama bulan ini.
"Kami menyebut September ini sebagai September Berdarah. Mengingat ada dua teman kami yang tewas ditembak aparat, matinya KPK, Karhutla, dan kerusuhan di Papua," ujar Ketua BEM IPB Muhammad Nurdiansyah, yang tergabung dalam BEM SI, di bawah flyover Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 1 Oktober 2019.
Dalam kesempatan itu, Nurdiansyah juga meminta aparat tidak berlaku represif kepada mahasiswa yang berdemo. Sebab menurut dia, mahasiswa hanya berbekal jaket almamater dan spanduk saat berdemo, tidak membawa senjata apapun.
"Maka aparat hindari perlakuan represif. Kami bukan hewan yang bisa ditembaki begitu saja. Jangan sampai ada darah yang tumpah lagi," kata Nurdiansyah.
Pada bulan September 2019, gelombang aksi terjadi di banyak daerah. Massa menuntut pemerintah membatalkan RKUHP dan pelemahan KPK. Namun dua mahasiswa bernama Imawwan Randi dan Yusuf Qardawi tewas tertembak dalam demonstrasi di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Bencana kebakaran hutan dan lahan atau karhutla di Riau dan Kalimantan membuat beberapa kota di Sumatera, Kalimanta, hingga luar negeri terganggu asap. Kerusuhan di Papua juga terjadi bulan September, sehingga BEM SI menyebutnya sebagai September Berdarah. Sedikitnya 34 orang tewas pada kerusuhan di sana.