TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Persaudaraan Alumni atau PA 212, Slamet Ma'arif, menilai ada kejanggalan dalam kasus penyekapan dan penganiayaan yang dialami anggota relawan Jokowi, Ninoy Karundeng. Slamet menilai ada kontradiksi berdasarkan informasi yang dihimpunnya dari lokasi kejadian.
"Aneh kalau merasa diculik kemudian dipersekusi, karena pulangnya pun diantar, bersalaman, cium tangan kemudian dikasih makan, bisa tiduran," ujar Slamet saat konferensi pers di kantor PA 212 di Jalan Condet Raya, Jakarta Timur, Rabu 9 Oktober 2019.
Menurut Slamet, Ninoy justru diselamatkan ke dalam masjid dari amuk massa. Dia menambahkan, massa kesal karena mengetahui Ninoy sebagai buzzer Jokowi. Slamet justru mempertanyakan motif Ninoy ke lokasi Masjid Al Falaah di Pejompongan pada malam itu.
"Kenapa Ninoy ada di kerumunan massa, padahal di situ sudah jelas tempat berlindung dan berkumpulnya adik-adik mahasiswa dan pelajar yang sedang berbeda pandangan dengan pemerintah," ujar Slamet.
Relawan Jokowi, Ninoy Karundeng, ditemui awak media di kantor Subdirektorat Resmob Polda Metro Jaya, Senin, 7 Oktober 2019. Tempo/M Yusuf Manurung
Sebelumnya, Ninoy Karundeng mengaku hanya ingin merekam gambar massa yang terlibat bentrok dengan aparat keamanan usai demonstrasi mahasiswa dan pelajar di DPR RI, 30 September 2019. Dia mengaku dipukul dan langsung digelandang ke dalam masjid begitu ada yang mengenalinya sebagai relawan Jokowi.
Berbeda dengan yang dituturkan Slamet, Ninoy mengaku mendapat penganiayaan dan ancaman pembunuhan di dalam masjid. Sebelum dia dilepaskan keesokan siangnya. Dua di antara massa dikenalinya lewat sapaan habib dan seragam petugas medis.
Polda Metro Jaya telah menetapkan 13 orang sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Di antaranya adalah Sekretaris Umum PA 212 Bernard Abdul Jabbar.