TEMPO.CO, Jakarta -Faisal Amir menyatakan tidak menyimpan dendam kepada polisi, yang melakukan kekerasan selama aksi mahasiswa menolak beberapa undang-undang kontroversial di gedung DPR RI .
"Saya tidak dendam dengan polisi. Mereka juga kerja, tapi seharusnya polisi juga mengayomi," kata Faisal Amir saat ditemui di rumahnya di Perumahan Villa Ilhami Islamik Village, Tangerang, Banten, Ahad, 13 Oktober 2019.
Faisal adalah mahasiswa yang menjadi korban di tengah kericuhan yang terjadi antara massa demonstran dengan aparat keamanan pada 24 September.
Dari hasil pemeriksaan dokter dan CT Scan, Faisal mengalami luka-luka di kulit kepala, tengkorak retak, pendarahan di otak, dan tulang bahu patah. Tim dokter memperkirakan Faisal harus dirawat hingga enam bulan ke depan.
Faisal meminta polisi tidak agresif kepada mahasiswa yang menyampaikan aspirasinya. Sebab, gelombang unjuk rasa masih akan terus disuarakan mahasiswa sampai tuntutan mereka untuk membatalkan undang-undang bermasalah, seperti UU Komisi Pemberantasan Korupsi, Rancangan KUHP dan lainnya dibatalkan.
Mahasiswa berusia 21 tahun itu tidak mengetahui pemicu kerusuhan saat unjuk rasa mahasiswa di sekitar DPR. Yang Faisal ingat, polisi telah melontarkan gas air mata dan meriam air sebelum massa membubarkan diri. "Padahal unjuk rasa belum selesai, kami sudah dibubarkan," ucapnya.
Faisal Amir menceritakan semestinya polisi boleh membubarkan massa saat aksi mahasiswi menyampaikan aspirasinya pada pukul 18.00. Namun, pada Selasa, 24 September lalu, polisi telah melontarkan gas air mata agar mahasiswa bubar pada pukul 16.30. "Saya tidak tahu pemicunya. Sungguh disayangkan menjadi rusuh."