TEMPO.CO, Jakarta - DPRD DKI Jakarta bakal membentuk hukum acara untuk memperkarakan anggota dewan yang diduga melanggar kode etik. Anggota DPRD dari Partai Gerindra, Syarif, mengatakan sebenarnya selama ini dewan sudah terikat dengan kode etik.
Akan tetapi, Syarif mengibaratkan, kode etik dewan selama lima tahun belakangan ini seperti pasal tidur. Sebab, tidak ada tata cara yang mengatur bagaimana menjerat anggota dewan yang melanggar kode etik. Alhasil, tidak ada tindakan terhadap dewan yang melanggar.
"Ada kode etiknya tapi hukum acaranya belum diatur," kata Syarif saat ditemui Tempo di kantornya, Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Senin, 14 Oktober. "Kode etik itu termasuk pasal tidur. Sekarang mau dibangunkan."
Syarif mengatakan hukum acara ini akan mengatur mekanisme sidang etik bagi wakil rakyat di Kebon Sirih, sebutan DPRD DKI yang merujuk pada alamat kantor mereka, yang diduga melanggar kode etik. Poin hukum acara itu mulai dari pemanggilan dewan, verifikasi, penetapan panitera, hingga penetapan hakim sidang.
Menurut Syarif, mulanya harus ada laporan terlebih dulu ihwal dugaan pelanggaran kode etik. Siapapun bisa melapor, baik masyarakat atau pejabat. Tak hanya itu, dewan akan membuka sidang atas isu tertentu yang telah menarik perhatian publik tanpa perlu menunggu laporan.
"Kalau tidak ada laporan tapi masyarakat mempunyai perhatian, misal ada demo atau tuntutan ke saya, saya bisa dipanggil kode etik," ucap politikus Partai Gerindra itu.
Karena itulah, dia menambahkan, dasar mengenai kode etik dan hukum acaranya dimasukkan dalam draf Tata Tertib (Tatib) DPRD DKI 2019-2024. Setelah tatib disahkan, dewan akan membentuk panitia khusus (pansus) kode etik. Syarif berujar pansus bertugas menyusun tata cara sidang alias hukum acara.