TEMPO.CO, Jakarta Isu politik uang dalam atau pemilihan wagub DKI Jakarta menjadi pertimbangan anggota DPRD membentuk aturan untuk memproses dewan yang diduga melanggar kode etik.
Anggota DPRD, Syarif, menyebut perkara tersebut merupakan salah satu contoh yang bisa dibawa ke sidang etik.
"Misalnya waktu PSI (Partai Solidaritas Indonesia) kemarin mengatakan gosipnya ada orang bagi-bagi untuk pemilihan wakil gubernur, itu bisa jeratannya pidana, bisa kode etik," kata Syarif saat ditemui Tempo di kantornya, Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Senin, 14 Oktober 2019.
Syarif memaparkan sidang etik nantinya bakal menghasilkan dua keputusan. Pertama, dewan terkait terbukti melanggar etik. Apabila terbukti, si pelanggar bakal diberi peringatan.
Kedua, perkara direkomendasikan untuk diteruskan ke ranah hukum. Menurut Syarif, opsi ini mungkin muncul jika hakim etik menemukan unsur pidana dalam perkara yang menyeret dewan terkait.
Hakim etik, lanjut dia, bakal mengeluarkan rekomendasi agar perkara dilanjutkan ke penegak hukum. Politikus Partai Gerindra ini mengatakan, DPRD tak lagi ikut campur ketika perkara etik sudah ditangani di ranah hukum.
Sebelumnya, Wakil Ketua PSI DKI Rian Ernest menyampaikan dugaan politik uang dalam Pemilihan Wagub DKI. Politikus Partai Demokrat, Taufiqurrahman, lalu melaporkan dugaan pencemaran nama atau penyebaran pemberitahuan bohong atas pernyataan Ernest tersebut.
Syarif mengutarakan, perkara seperti itu apabila diucapkan anggota dewan bisa diselesaikan di sidang etik dewan terlebih dulu sebelum dibawa ke kepolisian. "Itu bagaimana cara menyelesaikannya kalau tidak pakai kode etik. Masa dikit-dikit laporin ke Polda Metro," ucap dia.
Syarif membeberkan ada jenis perkara lain yang bisa dibawa dalam sidang etik. Perkara itu di antaranya membocorkan isi rapat tertutup, melakukan perbuatan yang melukai orang lain, hingga tidak menghadiri rapat untuk bersenang-senang.
"Pokoknya yang berkaitan dengan kesusilaan, kehormatan, dan nama baik," ujar Syarif.
Untuk memproses anggota diduga melanggar etik, DPRD perlu membuat aturan alias hukum acara. Syarif menilai, aturan ini yang menjadi dasar berjalannya proses persidangan etik. Karena itulah, poin mengenai kode etik dewan dan hukum acaranya masuk dalam draf Tata Tertib (Tatib) DPRD DKI 2019-2024.
Menurut Syarif, selama lima tahun terakhir, kode etik dewan hanya menjadi 'pasal tidur'. Maksudnya bahwa tidak ada penindakan apapun terhadap dewan yang melanggar kode etik. Sebab, tak ada hukum acara yang mengatur proses sidang etik.
"Bagaimana cara memanggil orang itu belum ada (aturannya), tapi kode etiknya ada. Kan saya bilang pasal tidur," ucap dia terkait aturan baru di pemilihan wagub DKI tersebut