TEMPO.CO, Jakarta - Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya memiliki sejumlah catatan bagi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan selama dua tahun menjabat. Kepala Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya Teguh Nugroho mengatakan masih banyak kekurangan yang harus diubah serta ditingkatkan oleh Gubernur serta Pemerintah Provinsi DKI.
Salah satu yang disoroti adalah langkah Anies yang dinilai tergesa-gesa dalam mengambil keputusan serta kurangnya koordinasi antar Satuan Kerja Perangkat Daerah di Jakarta. Teguh mencontohkan saat Anies memberi izin bagi PKL untuk berjualan di Jalan Jati Baru, Tanah Abang.
Menurut Teguh, kala itu Anies tergesa-gesa mengambil keputusan padahal seharusnya perlu nenunggu rekomendasi kepolisian karena terkait dengan Undang-undang Lalu Lintas dan Jalan. "Nah kami melihat pola itu masih berlaku sampai sekarang. Jadi, pak Anies itu kadang-kadang terlalu tergesa-gesa mengambil keputusan,” kata dia, Senin, 14 Oktober 2019.
Selain itu, Teguh menilai dari sisi hukum, Anies dianggap masih lemah. Ia mencontohkan rencana DKI melakukan revitalisasi trotoar di Cikini, Raden Saleh dan Senen. Rencananya DKI bakal menempatkan PKL di trotoar itu.
Persoalannya, menurut Teguh, hal tersebut dapat melanggar Undang-undang Lalu Lintas. Dalam UU itu, trotoar seharusnya hanya ditujukan untuk pejalan kaki. “Persis sama yang terjadi waktu jalan Jati Baru itu, karena trotoar itu bagian dari sarana penunjang jalan," ujarnya. Jika ingin digunakan, maka harus ada izin dari polisi.
Teguh pun berpendapat hal itu dipengaruhi juga oleh ketiadaan wakil gubernur pendamping Anies sehingga koordinasi dengan stakeholder dan antar SKPD jadi kurang efektif.
“Nah dari sana kami melihat bahwa sejauh ini mungkin karena pak anies ini sendirian, belum ada wagub, jadi tidak ada orang yang second layer yang memastikan bahwa ada koordinasi di tingkat SKPD-SKPD yang bisa memastikan bahwa program pembangunan ini berjalan,” kata Teguh.
Teguh juga mengatakan bahwa kehadiran Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) tidak memperlihatkan kinerja yang meyakinkan. Menurut dia, alat ukur yang dihasilkan dari TGUPP belum jelas.
"Harapannya tadikan membantu gubernur, menyingkronisasikan antara kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh gubernur dengan kondisi-kondisi di lapangan. Nah itu tidak terlihat,” kata Teguh.
Adapun berdasarkan catatan Ombudsman, sekitar 60 persen laporan yang masuk ke lembaga itu pada kurun Februari hingga Oktober ini berkaitan dengan kinerja Pemprov DKI. Tercatat ada 500 laporan yang masuk dalam kurun waktu itu. “Pemprov DKI ini menjadi lembaga terlapor yang paling banyak dilaporkan oleh para pelapor di Jakarta. Dan rata-rata masalahnya sama. Rata-rata masalahnya adalah buruknya kordinasi antar KSPD yang ada di Pemprov DKI. Soal data, itu semuanya amburadul," kata Teguh.
MEIDYANA ADITAMA WINATA