TEMPO.CO, Jakarta - Majelis hakim menolak keberatan atau eksepsi Habil Marati, politikus PPP yang didakwa mendanai kepemilikan senjata api ilegal terkait kerusuhan 22 Mei lalu. Hakim ketua, Hariono, menyebut tidak dapat menerimanya dan menyatakan dakwaan perlu dibuktikan dalam sidang pokok perkara.
"Mengadili menyatakan keberatan terdakwa dan penasihat hukum terdakwa tidak dapat diterima," kata Hariono saat pembacaan putusan sela di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 17 Oktober 2019.
Hariono memerintahkan agar jaksa penuntut umum (JPU) melanjutkan pemeriksaan perkara. Dengan ditolaknya eksepsi ini, maka sidang Habil Marati berlanjut dengan agenda terdekat Kamis, 24 Oktober 2019, yakni pemeriksaan saksi yag akan dihadirkan jaksa.
Saat persidangan, Habil tak menolak keputusan itu. Dia hanya meminta sidang berlangsung dua kali dalam seminggu.
Saat ditemui wartawan usai sidang, Habil Marati mengatakan, keputusan tersebut sudah menjadi pertimbangan hakim. Hanya, menurutnya, jaksa tak dapat menjawab materi eksepsi yang disampaikannya.
Pengusaha yang pernah menjadi manajer Timnas PSSI itu tetap meyakini terdapat perbedaan waktu penangkapan dari yang tertera di dakwaan dengan fakta sebenarnya. Selain itu, dakwaan tak jelas menyebut siapa pelaku utama dan apa peran Habil.
"Faktanya jaksa tidak mampu menjawab materi eksepsi saya," ujar Habil, "Jaksa tidak bisa menjelaskan di mana peranan saya terhadap pembelian senjata."
Habil kini berstatus sebagai terdakwa kepemilikan senjata api ilegal. Jaksa mendakwanya telah menyalurkan dana untuk pembelian senjata api ilegal oleh terdakwa lain, mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen.
Habil Marati disebut memberikan uang dua kali, yakni masing-masing 15 ribu dolar Singapura atau Rp151,5 juta dan Rp 50 juta. Jaksa mendakwa Habil melanggar Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto 56 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.