TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Bidang Diseminasi, Informasi, Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika atau BMKG, Hary Tirto Djatmiko mengatakan suhu panas yang melanda DKI Jakarta dan sekitarnya masih normal.
"Suhu panas Jakarta masih normal belum dikategorikan ekstrim," kata Hary melalui pesan singkatnya, Kamis, 24 Oktober 2019.
Hary mengatakan suhu dikategorikan ekstrem jika bertambah atau berkurang tiga derajat Celcius dari suhu minimum atau maksimum di suatu daerah. Adapun suhu minimum dan maksimum di DKI dan sekitarnya berkisar 33-37 derajat Celsius. "Itu suhu normalnya," ujarnya.
Menurut Hary, suhu udara panas di ibu kota diperkirakan bakal bertahan hingga akhir Oktober 2019. Suhu ini bakal mulai menurun pada bulan depan seiring dengan gerak semu matahari ke bumi belahan selatan (BBS) ke arah Australia. "Suhu udara panas ini karena pengaruh gerak semu matahari," kata dia.
Pada September, kata Hary, matahari berada di sekitar wilayah khatulistiwa dan akan terus bergerak ke belahan Bumi selatan hingga Desember. Sehingga pada Oktober ini, posisi semu matahari akan berada di sekitar wilayah Indonesia bagian Selatan, seperti Sulawesi Selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan wilayah lainnya.
Nah, kondisi ini menyebabkan radiasi matahari yang diterima oleh permukaan bumi di wilayah tersebut relatif menjadi lebih banyak, sehingga akan meningkatkan suhu udara pada siang hari. Selain itu pantauan dalam dua hari terakhir, atmosfer di wilayah Indonesia bagian selatan relatif kering. "Sehingga sangat menghambat pertumbuhan awan yang bisa berfungsi menghalangi panas terik matahari," ujarnya.
Hary menjelaskan minimnya tutupan awan ini akan mendukung pemanasan permukaan yang kemudian berdampak pada meningkatnya suhu udara. Gerak semu matahari merupakan suatu siklus yang biasa dan terjadi setiap tahun. "Jadi potensi suhu udara panas seperti ini juga dapat berulang pada periode yang sama setiap tahunnya," ujarnya.
Dalam waktu sekitar satu minggu ke depan, menurut Hary, masih berpotensi cuaca panas di sekitar wilayah Indonesia. Sebab, posisi semu matahari masih akan berlanjut ke selatan dan kondisi atmosfer yang masih cukup kering. "Sehingga potensi awan yang bisa menghalangi terik matahari juga sangat kecil pertumbuhannya," kata dia.