TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) Apartemen Lavande, Jakarta Selatan disebut mematikan access card sejumlah penghuni pada Rabu, 30 Oktober lalu sekitar pukul 17.00. Salah seorang penghuni yang mengalaminya adalah Khatrin Anggraeni.
"Saya enggak bisa naik ke atas karena access card mati," kata Khatrin saat ditemui Tempo di salah satu lobby Apartemen Lavande, Selasa petang, 5 November 2019.
Menurut Khatrin, empat penghuni lain juga mengalami nasib serupa. Khatrin dan penghuni lain lantas mencoba meminta penjelasan kepada pengurus P3SRS. Namun pengurus disebut sudah tidak ada di lokasi saat itu.
Khatrin mengatakan access card apartemen para penghuni akhirnya bisa diaktifkan kembali oleh pihak engineering sekitar pukul 24.00. Malam itu, kata dia, Kepala Suku Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Jakarta Selatan Herry Purnama dan Camat Tebet Dyan Airlangga sampai datang ke lokasi untuk membantu penyelesaian masalah access card tersebut.
Ia pun menduga penonaktifan access card oleh P3SRS berkaitan dengan polemik iuran pengelolaan lingkungan (IPL). Sebelum dimatikan, ia dan sejumlah penghuni lain dikirimi surat oleh P3SRS pada 23 Oktober 2019. Surat itu berisi peringatan pembayaran selisih IPL. "Di surat itu tertulis, tanggal 28 Oktober harus bayar," kata pemilik unit C/01/25 itu.
Dalam surat tersebut, Khatrin ditagih pembayaran selisih IPL dari April 2016 hingga Desember 2017 sebesar Rp 4,2 juta. Surat itu menuliskan bahwa sesuai dengan ketentuan House Rule The Lavande Residences pada BAB VII bagian VII.I poin 3, yaitu apabila terjadi tunggakan IPL dan sinking fund, maka sanksi yang diambil oleh badan pengelola atau P3SRS The Lavande Residences adalah pemblokiran kartu akses.
Khatrin keberatan disebut menunggak IPL. Ia mengaku tetap membayar IPL pada periode itu walau tidak seusai dengan ketentuan kenaikan tarif yang ditetapkan P3SRS. Pada tahun 2016, pengurus menaikkan tarif IPL tiga kali. Jika ditotal dengan sinking fund, kenaikan itu adalah Rp 17 ribu untuk Januari-Maret; Rp 18 ribu untuk April-Juni; dan Rp 20 ribu untuk Juli-Desember.
Sedangkan Khatrin mengaku hanya membayar Rp 14 ribu per bulan pada periode itu sesuai dengan tarif IPL sebelum kenaikan pada 2016. Menurut dia, kenaikan tarif tahun 2016 masih dipermasalahkan dan tidak disepakati oleh sejumlah penghuni apartemen. "Jadi saya bukan tidak membayar, itu hitungan selisih IPL," kata Khatrin.
Setelah mendapatkan surat itu, Khatrin dan penghuni lain yang juga dinyatakan tidak membayar selisih IPL bertemu dengan pengurus P3SRS, yakni pada Sabtu, 26 Oktober 2019. Penghuni meminta penjelasan masalah IPL serta ancaman pemblokiran access card.
Dalam pertemuan itu, penghuni dan P3SRS menyepakati sejumlah poin. Di antaranya sepakat membuat tim kerja untuk IPL yang lebih relevan dan layak. Tim tersebut diisi oleh lima orang perwakilan penghuni dan dengan jumlah yang sama berasal dari P3SRS. Selanjutnya, kedua pihak sepakat bahwa seluruh tagihan yang termasuk dalam surat peringatan IPL (yang dikirim pada 23 Oktober 2019) tidak dapat dilaksanakan atau tidak berlaku.
Tempo mendapati foto kesepakatan itu yang diteken oleh Ketua P3SRS Apartemen The Lavande Residence, Hardi Putra Purba. Kesepakatan dan tanda tangan dibubuhkan pada kertas notulen rapat. Namun empat hari berselang pertemuan, Khatrin mengatakan bahwa kesepakatan itu tidak dilaksanakan oleh P3SRS. "Langsung di block pada tanggal 30 Oktober. Mati semua akses," kata Khatrin.
Khatrin akhirnya memutuskan membayar tagihan selisih IPL itu. Ia mengaku kecewa dengan keputusan P3SRS yang mematikan access card karena tidak manusiawi. "Saya terpaksa bayar karena ada keluarga di atas yang ditinggalkan, punya hati gak sih mereka," kata dia.
Di Apartemen Lavande, Tempo bertemu dengan enam penghuni lain yang juga mendapatkan surat dari P3SRS pada 23 Oktober 2019. Mereka adalah PW, F, J, H, Ls dan Ld. Tagihan selisih IPL terhadap keenamnya beragam, mulai dari belasan juta hingga lebih dari Rp 20 juta. Namun, enam orang yang tergabung dalam Perkumpulan Warga Apartemen Lavande tersebut tidak mengalami pemblokiran akses seperti Khatrin.
Salah satu penghuni yang ikut prihatin dengan nasib Khatrin, PW menyebutkan bahwa tindakan P3SRS itu melebihi pemerintah. Ia membandingkan warga yang telat bayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) saja tak pernah diusir negara dari rumahnya.
PW menilai, tindakan mematikan access card bahkan lebih kejam daripada mematikan air dan listrik. "Itu sama saja menggelandangkan kita, kita punya anak dan istri. Gak kebayang kalau dimatikan," kata dia.
Polemik antara penghuni dan P3SRS terkait tarif IPL di Apartemen Lavande sempat disoroti oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu pernah datang ke lokasi pada Februari 2019 untuk mendengarkan keluhan penghuni. Selain IPL, penghuni mengeluhkan kenaikan tarif dasar listrik yang dinilai dilakukan sepihak oleh P3SRS.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (berbaju batik) saat berdialog dengan warga apartemen Lavande, Jakarta Selatan, Senin malam, 18 Februari 2019. Tempo/M Julnis Firmansyah
Polemik sejenis ternyata ditemukan di apartemen lain di Jakarta. Kisruh terjadi lantaran banyak pengurus P3SRS yang diduga berasal dari pengembang apartemen atau pengelola yang terafiliasi. Karena itu, P3SRS kerap membuat aturan sepihak yang memberatkan penghuni.
Atas masalah tersebut, Pemerintah DKI Jakarta pernah mengultimatum pengelola apartemen untuk membentuk kepengurusan P3SRS baru paling lama Maret 2019. Kepengurusan baru itu harus sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 132 tahun 2018. Apartemen Lavande merupakan salah satu objek ultimatum. Namun hingga saat ini, kepengurusan P3SRS di sana masih sama.
Tempo berupaya menghubungi pihak P3SRS Apartemen Lavande namun belum mendapat respons.