TEMPO.CO, Jakarta - Tiga penghuni rumah dinas di kompleks TNI Cijantung, Jalan Sederhana Raya, Jakarta Timur, berinisiatif mengosongkan sendiri perabot dan angkat kaki dari rumah mereka sebelum dikosongkan paksa Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Kodam Jaya). Mereka mengklaim memiliki hak atas rumah tersebut.
Keluarga almarhum purnawirawan Boedi Soekriswo misalnya. Kristiawati, 55 tahun, anak Boedi, mengatakan lebih memilih mengosongkan rumahnya lebih awal karena melihat pengalaman tetangganya yang sudah dikosongkan paksa.
"Tahun lalu rumah di sebelah saya dikosongkan paksa, barangnya pada rusak. Karena dilempar seenaknya," kata Kristiawati saat ditemui di sekitar kompleks TNI Cijantung, Kamis, 21 November 2019. "Saya trauma melihatnya."
Kodam Jaya mengosongkan paksa enam dari 10 rumah warga di kompleks perumahan TNI AD Cijantung, Jakarta Timur, Kamis 21 November 2019. Tiga di antaranya mengosongkan sendiri dan satu lagi ditunda pengosongannya.
Kristiawati mengatakan keluarganya telah mendapatkan surat peringatan pertama untuk angkat kaki dari rumah itu sejak 8 Mei 2019. Tujuh hari setelahnya ia kembali mendapatkan surat peringatan kedua. "Setelah mendapatkan surat peringatan kedua saya mengosongkan sendiri," ujarnya.
Selain mengosongkan perabot, keluarganya juga menyelamatkan sebagian kusen dan pintu rumahnya yang terbuat dari kayu Jati. Rumah tersebut, kata dia, hampir 100 persen sudah dibangun ulang oleh keluarganya. "Bahkan, yang pasang listrik saja keluarga kami. Bukan pemerintah," ujarnya.
Orang tuanya telah tinggal di rumah tersebut sejak tahun 1972. Rumah tersebut dibangun setelah ayahnya tidak lagi tinggal di Hotel Maribaya. Sebab, saat itu, seluruh prajurit yang belum punya rumah ditempatkan tinggal di hotel.
Setelah pemerintah mencabut kebijakan tinggal di hotel, Kodam Jaya memberikan alternatif kepada seluruh prajurit. Mereka diminta memilih menerima uang Rp 500 ribu untuk membeli atau membangun rumah sendiri, atau dibangunkan rumah oleh Kodam.
"Orang tua saya memilih dibangunkan rumah oleh pemerintah," ujarnya.
Menurut Kristiawati, semestinya rumah tersebut tidak diklaim sebagai rumah dinas TNI. Sebab, melihat sejarah awalnya rumah tersebut memang dibangun menggunakan uang dari alternatif kebijakan pemerintah yang tidak lagi menyediakan hotel bagi prajuritnya.
Ia mencontohkan, teman ayahnya yang membeli rumah dengan uang Rp 500 ribu di wilayah Cempaka Putih, Jakarta Barat, saat ini lebih beruntung. Sebab, mereka tidak membeli rumah di lokasi yang sekarang dianggap milik pemerintah.
"Rumah teman ayah saya, yang membangun sendiri mungkin kalau di jual sekarang harganya bisa Rp 5 miliar," ujarnya. "Sedangkan keluarga saya harus terusir dari rumah yang menjadi tanda jasa orang tua saya."
Kristiawati menyatakan bakal menggugat Kodam Jaya atas pengambilan paksa rumahnya. Sebab, ia mempunyai bukti seluruh riwayat atas berdirinya bangunan rumahnya.
"Bukti soal uang Rp 500 ribu itu masih ada sampai sekarang. Saya masih pegang dokumennya," ujarnya. "Keluarga kami juga membayar PBB sendiri sejak tahun 1976 sampai 2016."
Pada tahun 2017, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok membebaskan biaya PBB bagi rumah yang nilainya di bawah Rp 1 miliar.
Advokat dari Lokataru, Fakhry ilmullah, mengatakan Kodam semestinya tidak bisa begitu saja mengusir dan mengosongkan penghuni rumah di Kompleks TNI Cijantung tersebut. Sebabnya, mereka mempunyai bukti atas riwayat kepemilikan rumah tersebut.
"Kami bisa berikan datanya (bukti warga punya hak atas rumah)," ujarnya. Selain itu, langkah Kodam dinilai salah jika langsung mengosongkan tanpa adanya putusan pengadilan. Apalagi, sengketa kepemilikan rumah ini mau diajukan ke pengadilan.
"Setiap rumah dinas yang mau dikosongkan harus ikut putusan (pengadilan)."
Menurut Fakhry, seluruh warga di Kompleks TNI Cijantung yang berada di Jalan Sederhana berhak untuk memiliki rumah tersebut. Sebabnya, mereka tidak memilih mengambil uang sebesar Rp 500 ribu untuk membangun rumah sendiri.
"Karena tahun 1972 saat pemerintahan menghentikan menempatkan prajurit di hotel ada konvensasi Rp 500 ribu untuk membeli rumah sendiri," ujarnya. "Prajurit di lokasi ini membangun dengan duit itu. Bahkan dulu membangun rumah ini hanya Rp 300 ribu."
Perwakilan Kodam Jaya yang menemui Lokataru menyatakan pengosongan merupakan instruksi langsung dari Pangdam Jaya. "Kami di sini hanya menjalankan instruksi," ujarnya.
Perwakilan tim hukum Kodam Jaya ini, meminta agar pengosongan ini tidak dihalangi karena institusinya telah memberikan tiga kali surat peringatan. Selain itu, pria ini mengatakan jika tim hukum warga punya bukti atas kepemilikan rumah tersebut bisa diadu di pengadilan dengan bukti yang dimiliki Kodam Jaya.
"Nanti prosesnya yang menentukan di pengadilan saja," ujarnya.