TEMPO.CO, Jakarta -Kericuhan dalam diskusi yang digelar antara pemerintah provinsi DKI Jakarta dengan sejumlah seniman di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, ditengarai karena ketidakpuasan seniman dengan pejabat yang hadir.
Moderator sekaligus inisiator acara, Imam Ma'arif, mengatakan kericuhan terjadi karena narasumber yang hadir mewakili legislatif dan eksekutif tidak memahami persoalan dalam revitalisasi TIM.
Legislatif diwakili Ketua Komisi B Taufik Azhar dan eksekutif Deputi Gubernur bidang Pariwisata dan Kebudayaan, Dadang Solihin.
"Komisi B tidak menguasai persoalan, kemudian Pak Deputi juga tidak menguasai persoalan. Pak Deputi juga kan baru dua bulan ya, diangkat Anies Baswedan sebagai pembantunya. Jadi itu yang kemudian membuat ricuh," kata Imam saat dihubungi, Ahad, 24 November 2019.
Video kericuhan saat diskusi yang digelar antara pemerintah provinsi DKI Jakarta dengan sejumlah seniman di Pusat Dokumentasi Sarta H.B. Jassin, TIM, beredar viral di media sosial sejak Sabtu, 23 November 2018. Diskusi tersebut mengusung tema 'PKJ-TIM Mau Dibawa Kemana?'.
Kericuhan dipicu saat Dadang Solihin berdiri dari tempat duduknya dan melontarkan ucapan yang meninggi dan menuai kemarahan seniman sebagai peserta diskusi.
"Mau tidak berdiskusi, mau tidak berdiskusi," ucap Dadang dengan nada tinggi.
Seorang peserta yang tidak terima langsung merespon ucapan Dadang. "Woy jangan galak-galak," kata peserta yang tidak terima dengan sikap Dadang. Peserta lain juga menimpali, "Tidak bisa pejabat kayak anda begitu."
"Saya tidak marah, tidak marah," jawab Dadang, setelah para peserta tidak terima dengan ucapannya.
Imam menuturkan para seniman yang hadir membutuhkan jawaban yang mencerahkan dalam proses revitalisasi TIM. Sebabnya, dalam proses revitalisasi tersebut, Pemerintah Provinsi DKI juga menyelipkan pembangunan hotel bintang lima di kawasan TIM.
Padahal, tujuan utama diskusi ini diselenggarakan adalah untuk mempertemukan eksekutif, legislatif dan seniman terkait mau dibawa ke mana proses revitalisasi TIM. "Seniman itu dibutuhkan atau tidak. Apa seniman itu membutuhkan hotel bintang lima atau tidak. Rupanya kan seniman tidak membutuhkan itu (hotel)."
Menurut dia, kericuhan dalam diskusi ini terjadi karena pemerintah saat ini tidak memahami esensi keberadaan TIM. Para seniman membayangkan keberadaan hotel dalam kawasan Pusat Kesenian Jakarta TIM merusak dan mengubah wujud kawasan itu sebagai lokasi keramaian semu.
"Posisi PKJ-TIM tidak lagi menjadi kebanggaan para seniman. Riwa-riwi aktivitas bisnis akan lebih mendominasi PKJ TIM dari pada aktivitas berkesenian," ujarnya.
Manajemen hotel bintang lima misalnya, akan menjadi tembok besar yang menjauhkan seniman dari rumahnya sendiri di Taman Ismail Marzuki. "Pemerintah saat ini tidak memahami persoalan itu," ucapnya.