Dalam kasus ini, kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Papua menduga ada kejanggalan dalam proses hukum terhadap enam orang aktivis yang ditangkap oleh polisi. Mereka adalah Surya Anta, Charles Kossay, Dano Tabuni, Isay Wenda, Ambrosius Mulait dan Arina Elopere. Keenamnya ditangkap setelah mengibarkan bendera Bintang Kejora saat aksi unjuk rasa di depan Istana Negara pada Agustus 2019 lalu.
Menurut salah satu tim advokasi, Tigor Hutapea, salah satu dugaan pelanggaran prosedur yang dilakukan polisi adalah ketika menangkap keenam orang itu. Ia mengatakan keenam kliennya itu sedang berada di asrama Lani Jaya Depok Pada 30 Agustus 2019. Kemudian, sekitar pukul 19.30 WIB, datang kurang lebih 50 orang polisi berpakaian preman yang memaksa masuk asrama.
Puluhan polisi itu, kata Tigor, diduga tak menggunakan dan memperlihatkan tanda pengenal. Mereka ditengarai masuk dengan cara kekerasan sambil membawa senjata laras pendek. "Mereka menodongkan pistol dan mencekik leher Andius, Akim, Aseir, Michael dan Etias," ujar Tigor ketika dihubungi Minggu, 1 Desember 2019.
Ia juga mengatakan puluhan anggota polisi tersebut tak memberikan surat penangkapan seperti yang seharusnya dilakukan. Mereka hanya membacakan dan langsung melakukan penangkapan. "Itu saja sudah melanggar. Secara prosedur, mereka berhak diberikan surat penangkapan," kata Tigor.
Sementara untuk proses penggeledahan, kata Tigor, para anggota kepolisian juga diduga tak memperlihatkan surat izin penggeledahan. Padahal, seharusnya sebelum menggeledah, anggota polisi harus memperlihatkan surat izin penggeledahan yang sudah disetujui oleh ketua pengadilan.
Tigor menyebut penetapan tersangka Surya Anta dan lima rekannya juga ditengarai tanpa ada pemeriksaan saksi dan gelar perkara. Ia mengatakan, berdasarkan aturan ihwal manajemen penyidikan, seharusnya ada proses pemanggilan terhadap terlapor, pemeriksaan saksi, dan gelar perkara, serta dua alat bukti yang cukup dan sah, sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka.