TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) ikut merespons Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 tahun 2018 tentang Perpasaran. Seperti Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) dan Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), organisasi itu juga menilai perda tersebut memberatkan.
Alasannya, kata Ketua Aprindo Roy Mandey, Pasalnya, perda tersebut mewajibkan agar pelaku usaha memberi ruang efektif sebesar 20 persen kepada pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) secara cuma-cuma. "Kami ingin perspektif dari pengusaha ritel diperhatikan pula menyoal ruang khusus 20 persen bagi UMKM ini, di mana sesungguhnya hal itu selain akan berdampak pada pengusaha, juga pada UMKM itu sendiri," ujarnya, Jumat, 13 Desember 2019.
Roy menjelaskan bahwa landasan kemitraan UMKM dengan ritel modern ada empat asas, yaitu saling menguatkan, saling membutuhkan, saling mempercayai dan saling menguntungkan. "Itu semua juga sudah tertera dalam Permendag," ujarnya.
Menurut Roy, ritel modern di bawah Aprindo sudah memasarkan produk UMKM dan menyediakan ruang khusus seperti rak UMKM atau pojok UMKM bahkan sebelum dikeluarkannya Perda tersebut. "Hukum bisnis pasti apabila produk tersebut berkualitas baik hingga banyak diminati dan laku keras, maka semakin luas jangkauan yang kami berikan kepada mereka. Jadi bukan bergantung pada kewajiban memberi ruang seperti yang dimaksud Perda tersebut," ujarnya.
Roy mengatakan pada dasarnya pihaknya memahami maksud dari Pemprov DKI Jakarta yang ingin mendorong kemajuan UMKM melalui perda tersebut. Namun, kata dia, sebaiknya semua pihak yang terlibat dalam kebijakan tersebut untuk diajak duduk bersama dalam merumuskan formula terbaik."Kami sangat terbuka bila Pemprov DKI Jakarta mau mengajak kami dalam merumuskan formula terbaik untuk pelaku UMKM," kata dia.
Pelaku usaha pusat perbelanjaan atau mal sebelumnya menilai bahwa Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perpasaran memberatkan dan tidak mungkin untuk dilaksanakan. Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) APPBI Stefanus Ridwan mengatakan Perda itu memuat sejumlah kewajiban bagi pengelola mal untuk memberdayakan para pelaku UMKM melalui tiga pola kemitraan, yakni penyediaan lokasi usaha, penyediaan pasokan dan atau penyediaan fasilitasi. "Pengelola mal tak mungkin menanggung biaya 20 persen ruang usaha yang diberikan untuk UMKM, jika digratiskan," ucapnya.
Saat ini, menurut Stefanus, bisnis mal sedang tidak baik alias banyak mal yang merugi. Sedangkan yang terbilang sukses pun setelah 12 tahun (tanpa menghitung harga tanah) baru mendapatkan break event point (BEP). "Sehingga dengan diterapkannya Perda Nomor 2 Tahun 2018 itu dapat mengakibatkan mal akan merugi dan tutup," kata dia.
Sementara itu, Ketua Hippindo Budiharjo Iduansjah menilai kewajiban para pengusaha mal untuk menyediakan ruang usaha bagi kalangan UMKM sebesar 20 persen harus tepat sasaran. "Definisi UMKM perlu diperjelas dan produk yang ditawarkan harus sesuai dengan kelas atau target konsumen dari suatu mal," ujarnya.
Misalnya, ia mencontohkan tidak mungkin mal dengan target konsumen kelas atas diisi dengan UMKM yang menawarkan produk seperti yang dijajakan pedagang kaki Lima. "Akan tetapi, masih mungkin bila UMKM itu menjual produk yang memang sesuai dengan kelas atau konsumen di suatu mal," kata Budi. Karena itu, ia menyampaikan Hippindo menolak jika ruang usaha sebesar 20 persen tersebut diberikan secara gratis.