TEMPO.CO, Bogor - Praktik kawin kontrak tidak hanya merugikan wanita sebagai korban, namun juga anak dari hasil praktik haram itu. Si anak, disebut tak bisa mengklaim kewarganegaraan asal bapaknya karena perkawinan orang tuanya tak diakui secara hukum.
Ahli hukum seorang mantan anggota Aliansi Indonesia, Yulianti Sachan, mengatakan anak-anak yang lahir sebagai buah hasil kawin kontrak jika merunut pada Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan harus mengikuti berkewarganegaraan ibunya.
"Keadaan itu sudah ditetapkan secara limitatif," kata Yulianti kepada Tempo, ditemui di bilangan Jalan Juanda, Kota Bogor, Ahad 29 Desember 2019.
Yulianti mengatakan hal itu pun selaras dengan hukum Islam, yang mana menyebutkan seorang laki-laki tidak boleh melakukan pengakuan terhadap anaknya di luar pernikahan sah karena terputus nasab (garis keturunan). Dengan begitu, si anak hanya memiliki garis keturunan dari ibunya.
Namun Yulianti menyebut hal itu bukan berarti ayah biologisnya lepas tanggung jawab untuk hak pemberian nafkah penghidupan anak, perawatan, pendidikan dan kesehatan si anak hingga dewasa.
"Si ayah (biologis) bisa dituntut anak atau ibunya untuk itu," kata Yulianti, dengan menyebutkan ketentuan itu berdasar putusan MK No.46/PUU-VIII/2010 yang terbit setelah uji materi terhadap UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Kerugian sosial lainnya yang akan diderita oleh si anak, menurut Yulianti, adalah tidak bisa dinikahkan oleh ayah (biologis) nya itu. Sehingga ketika menikah nanti (jika anaknya perempuan) maka yang bertindak sebagai wali, adalah wali hakim yang ditunjuk oleh kantor urusan agama atau KUA.
Selain itu, anak hasil dari kawin kontrak (di luar nikah sah) pun tidak memiliki hak waris dari ayahnya tersebut. Sehingga akibat kawin kontrak itu, Yulianti menyebut banyak anak terlantar karena tidak di urus ibu atau bapaknya.
"Kawin kontrak itu kan haram. Nah supaya anaknya jelas nikah sah aja dan gak usah kontrak-kontrak, toh negaranya atau UNCHR memfasilitasi kok," ucap Yulianti.
Menjawab persoalan kawin kontrak yang muncul di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, pekan kemarin, Yulianti mengatakan itu sebetulnya adalah ulah nakal para imigran gelap. Dia mengatakan UNCHR sebetulnya memfasilitasi jika para imigran betul ingin menikah, bahkan sampai menfasilitasi dukungan antar negaranya.
Imigran itu kebanyakan dari Iran, Irak, Suriah, Afghanistan dan Somalia serta terakhir menyusul Uighur. "Tapi kebanyakan yang kawin kontrak (di Puncak) itu orang Arab," kata Yulianti.