TEMPO.CO, Jakarta - Jatuhnya korban jiwa dalam bencana banjir Jakarta di awal tahun 2020 menjadi catatan penting bagi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). WALHI heran karena banjir di ibu kota sebenarnya terjadi nyaris setiap tahun.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi menilai hal itu menandakan buruknya kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Menurut dia, korban jiwa tak seharusnya terjadi jika Jakarta memiliki rencana penanggulangan banjir.
"Tapi selama ini hasilnya apa?," ujar Tubagus di Kantor LBH Jakarta, Senin, 6 Januari 2020.
Tubagus menjelaskan, Pemerintah DKI Jakarta harusnya sudah memiliki Rencana Penanggulangan Bencana Daerah selama lima tahun yakni 2014-2019. Keharusan itu sesuai dengan amanah Pergub 143 Tahun 2015.
Penyusunan rencana itu terdiri dari identifikasi wilayah risiko kebencanaan, penetapan strategi dan kebijakan, penetapan mekanisme penanggulangan dan sinergi antara pemerintah, masyarakat dan swasta serta menjadikan rencana itu sebagai pedoman di lingkup Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Aturan lain yang menurut Tubagus harusnya sudah membuahkan hasil adalah Pergub Nomor 39 Tahun 2014. Aturan itu menjelaskan matriks pembagian tugas SKPD dalam penanggulangan bencana. Baik saat pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana.
Menurut Tubagus, penanggulangan oleh Pemerintah DKI masih buruk baik dalam konteks sebelum, sedang maupun pasca bencana banjir. Salah satu contohnya adalah jadwal pemadaman listrik saat banjir melanda.
"Masih ada korban yang meninggal karena korsleting listrik saat banjir," kata dia. "Banyak juga warga yang tak tahu harus berbuat apa ketika diumumkan siaga 1, 2, 3 atau 4," Tubagus melanjutkan.
Banjir yang melanda sejak 1 Januari 2020 di area Jabodetabek menelan korban sekitar 60 jiwa. Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), area DKI Jakarta yang paling banyak jatuh korban adalah Jakarta Timur dengan 8 jiwa.