TEMPO.CO, Jakarta -Kuasa hukum enam aktivis Papua, Annisa Rizky, mengatakan telah terjadi kriminalisasi atas kebebasan berpendapat yang dilakukan kliennya.
Sebab, menurut Annisa, keenam aktivis Papua menyatakan pendapat di muka umum dengan itikad baik, bukan makar.
"Tim penasehat hukum menyimpulkan telah terjadi kriminalisasi terdakwa atas kebebasan ekspresi secara damai yang dijamin dalam peraturan perundang-undangan," kata Annisa saat membacakan eksepsi di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin, 6 Januari 2020.
Annisa memaparkan istilah makar dalam Pasal 106 KUHP merupakan terjemahan dari kata aanslag. Beberapa ahli, lanjut dia, memaknai aanslag sebagai suatu serangan.
Pasal lain yang mengatur soal makar menurut kuasa hukum, yakni Pasal 87 KUHP. Dalam pasal itu tertulis makar adalah perbuatan yang sejak awal dilakukan dengan niat untuk menyerang wilayah negara atau pemerintahan seperti dimaksud dalam Pasal 53 KUHP.
Namun, isi pasal ini berbeda dengan apa yang dilakukan dan didakwaan terhadap keenam terdakwa. Faktanya, ungkap Annisa, terdakwa menyampaikan pendapat di muka umum secara damai dan beritikad baik.
"Di dalam dakwaan dan berkas perkara tidak ada penjelasan peristiwa serangan kekerasan atau upaya serangan kekerasan terhadap pemerintah, aparat, masyarakat sipil atau fasilitas publik lainnya," jelas dia.
Annisa melanjutkan, terdakwa juga telah mengikuti aturan seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Salah satunya dengan melayangkan surat pemberitahuan ke Polda Metro Jaya Bidang Intelkam soal rencana menyampaikan aspirasi.
Bahkan, lanjut dia, saat hari penyampaian pendapat, polisi berjaga dan tak berupaya membubarkan massa. Dia kembali menegaskan, para terdakwa tak merusak fasilitas publik, melakukan kekerasan atau tindak pidana lain ketika demonstrasi.
Sebelumnya, enam aktivis Papua didakwa dengan dua pasal alternatif. Pertama, Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yang mengatur soal makar. Kedua, Pasal 110 ayat 1 KUHP ihwal permufakatan jahat.
Keenam aktivis Papua itu menjalani sidang dengan tiga berkas perkara berbeda. Perkara empat terdakwa yang menjadi satu berkas adalah Paulus Suryanta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, dan Isay Wenda.