TEMPO.CO, Jakarta - Banjir Jakarta pada awal 2020 diduga tak berdiri di atas sebab tunggal berupa curah hujan ekstrem. Rentetan peristiwa, kebijakan pra bencana dan kondisi lahan Ibu Kota disinyalir berperan.
Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja menyinggung kondisi permukaan lahan Ibu Kota yang 85 persennya tertutup beton dan minimnya titik resapan air hujan. Bahkan menurut dia, Pemerintah DKI pernah menyatakan luasnya mencapai 90 persen.
"Sedangkan lima persennya merupakan jalan dan sisanya adalah Ruang Terbuka Hijau, Ruang Terbuka Privat dan Ruang Terbuka Biru," ujar Elisa di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Senin, 6 Januari 2020.
Di sisi lain, ujar Elisa, curah hujan yang mengguyur wilayah Jakarta awal tahun mencapai 180 juta kubik. Angka tersebut didapatnya dari Guru Besar Hidrologi Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada (UGM), Joko Sujono. Jumlah air disebut setara dengan 72 ribu kolam renang standar ajang Olimpiade serta menjadi rekor curah hujan tertinggi dalam 154 tahun.
Sebuah mobil terendam akibat banjir di Perumahan Green Village, Duri Kepa, Jakarta Barat, Sabtu 4 Januari 2020. Banjir didaerah tersebut sudah berlangsung selama 4 hari dengan masih ketinggian sepinggang orang dewasa. TEMPO/Ahmad Tri Hawaari
"Air sebesar 180 juta kubik itu kemudian jatuh di atas lahan yang 90 persennya beton, dan dilimpahkan semuanya ke kali, sungai, kanal, yang besarnya cuma 3 persen dari wilayah DKI Jakarta. Otomatis air itu bakal meluap kemana-mana," ujar Elisa.
Kejomplangan antara curah hujan dan daerah resapan itu harus menjadi perhatian serius Pemerintah DKI. Elisa mengimbau Anies Baswedan dan anak buahnya tak lagi membiarkan adanya pembangunan oleh pengembang yang mengabaikan kewajiban membuat sumur dan kolam resapan serta ruang terbuka hijau.
"Praktik seperti ini tidak bisa dimaklumi lagi," ujar Elisa.