Elisa berujar, kewajiban developer untuk membangun sumur dan kolam resapan serta RTH tercantum dalam Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) yang diterbitkan oleh pemerintah daerah. Pada praktiknya, ujar Elisa, pengembang kerap abai atau pemerintah lalai.
"Sebelum dicek apakah sumur dan kolam resapannya sudah dibangun atau belum, IMB sudah keburu keluar dan bangunannya sudah jadi," ujar dia.
Salah satu contoh pembangunan yang mengabaikan kewajiban SIPPT, kata Elisa, adalah Kompleks Sunrise Garden, Jakarta Barat. Menurut dia, daerah perumahan itu kerap banjir. Ia memperkirakan masih banyak kompleks lainnya di Jakarta dengan kasus serupa.
Sementara itu, Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak menyebut krisis iklim sebagai salah satu penyebab banjir. Ia berujar, ada perubahan pergerakan curah hujan dalam sepuluh tahun terakhir. Frekuensi di atas ratusan milimeter per hari semakin meningkat dengan intervalnya yang lebih singkat. Pada awal tahun 2020, kawasan Halim, Jakarta Timur memiliki rekor curah tertinggi yakni 377 milimeter per hari.
"Di Jakarta, sebenarnya rata-rata curah hujan hanya 20 milimeter per hari," ujar Leonard.
Seorang warga melintasi banjir di kawasan Kampung Baru, Kembangan, Jakarta Barat, Kamis, 2 Januari 2020. Banjir yang terjadi sejak Rabu kemarin masih merendam kawasan itu hingga ketinggian leher orang dewasa. ANTARA/Muhammad Adimaja
Karena meningkatnya frekuensi hujan ekstrem, Leonard mengatakan bahwa siklus 10 tahunan atau 5 tahunan tak lagi relevan. Hujan deras berpotensi banjir itu akan lebih sering dialami Jakarta dan dunia. "Kita harus lihat ini sudah menuju kenormalan baru," kata dia.
Menurut dia, meningkatnya curah hujan ekstrem dalam interval yang singkat merupakan salah satu indikator kuat terjadinya krisis iklim. Krisis tersebut mengarah pada sebab utamanya yakni pemanasan global.