TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta keberatan dengan beberapa pasal di dalam Peraturan Gubernur DKI tentang larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai. Kepala APPBI Ellen Hidayat mengatakan asosiasi keberatan dengan pasal yang membebankan sanksi hanya kepada pusat belanja yang menyewakan atau mall strata title.
"Bisnis pengelola pusat belanja adalah menyewakan unit usaha dan pengelola tidak melakukan penjualan langsung serta tidak bersentuhan dengan tas plastik atau yang dimaksud tas kresek," kata Ellen melalui keterangan tertulisnya, Rabu, 8 Januari 2019.
Pemerintah Provinsi DKI melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai di pusat perbelanjaan, swalayan maupun di pasar rakyat. Regulasi tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI nomor 142 tahun 2019 tentang kewajiban penggunaan kantong belanja ramah lingkungan di pusat perbelanjaan, swalayan dan pasar rakyat, yang telah diundangkan sejak 31 Januari 2020.
Pergub mulai berlaku setelah enam bulan diundangkan atau pada 1 Juli 2020. Bagi pelaku usaha yang melanggar aturan ini bakal diberi sanksi mulai administrasi hingga pencabutan izin usaha.
Ellen mengatakan sebenarnya APPBI mendukung Pergub larangan kantong plastik yang dibuat Pemprov DKI Jakarta. Namun, beberapa pasal dalam Pergub dinilai tidak tepat sasaran karena membebankan sanksi ke pusat perbelanjaan.
Salah satunya pasal 22 ayat 1 Pergub 142 yang berbunyi: pengelola pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan/atau pasar rakyat yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Peraturan Gubernur ini dapat dikenakan sanksi administratif.
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berupa : teguran tertulis, uang paksa, pembekuan izin, dan pencabutan izin. "Pergub tersebut dapat dikatakan mengalihkan tanggung-jawab untuk menyukseskan program tersebut kepada pengelola pusat belanja," sebut Ellen.
Ellen menjelaskan pusat perbelanjaan ditekan dengan sanksi yang cukup berat jika tidak mematuhi regulasi tersebut. Sanksi, Ellen berujar, antara lain uang paksa hingga Rp 25 juta hingga pencabutan izin usaha pusat perbelanjaan.
Ia menuturkan satu pusat belanja bisa mempunyai ratusan tenant. Jika pasal ini diterapkan, kata dia, maka satu kesalahan tenant bisa berdampak ke ratusan tenant yang tidak bersalah.
Ellen mencontohkan, jika pusat perbelanjaan memiliki 300 tenant dan ada satu tenant yang ditemui memakai tas kresek. Maka, kata dia, ada potensi ijin mall harus dicabut dan 299 tenant lainnya tidak bisa berbisnis lagi. "Padahal pusat belanja menyerap tenaga kerja yg cukup banyak," tuturnya.
Jika ingin serius menerapkan kebijakan ini, kata dia, sebaiknya Pemprov DKI Jakarta melakukannya dengan berkesinambungan dan mencegahnya dari hulu. Caranya, kata dia lagi, dengan membatasi atau meniadakan produksi kantong tersebut dari para produsen. "Pastikan tidak ada lagi produk tersebut yang beredar di masyarakat," ujar Ellen.
Pemprov, lanjutnya, juga perlu mensosialisasikan kepada seluruh masyarakat bahaya pemakaian kantong untuk lingkungan hidup. "Untuk itu, kami minta agar Pergub tersebut dapat diperbaiki terutama perihal sanksi yang tidak wajar atau tidak tepat sasaran kepada kami selaku pengelola pusat belanja," sebut dia.
IMAM HAMDI