TEMPO.CO, Jakarta -Pelapor perkara pemerasan, Budianto menceritakan kronologi kasusnya hingga nama mantan Kepala Satuan Reserse Kriminal atau Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan, Ajun Komisaris Besar Andi Sinjaya terseret dan terduga sebagai pelaku.
Menurut dia, pemerasan itu memang terjadi, namun bukan dilakukan oleh Andi. "Tapi yang meminta adalah pengacara bernama Alex," kata Budianto usai menjalani pemeriksaan di Propam Polda Metro Jaya, Rabu, 15 Januari 2020.
Budianto menuturkan dia bertemu dengan Alex di sebuah tempat makan di Pacific Place, Jakarta Selatan. Pada 24 sampai 26 Desember 2018, Budianto menjalin komunikasi dengan Alex melalui sambungan telepon.
Alex disebut menawarkan bantuan untuk mempercepat perkara Budianto berupa sengketa tanah yang berujung penyerangan dan pengrusakan yang mandek di tangan Polres Metro Jakarta Selatan. "Bro kalau memang mau dibantu, ya sudah ayo gua bisa bantu karena dari jajaran atas bawa gua kenal," ujar Budianto menirukan Alex.
Menurut Budianto, klaim kedekatan dengan pejabat kepolisian itu didukung dengan sejumlah foto Alex bersama pimpinan Polres Metro Jakarta Selatan. Termasuk salah satunya, bersama Kasat Reskrim.
"Dia bilang, harus siapin Rp 1 miliar di depan Pak Budi, kalau enggak tersangka enggak bisa ditahan," ujar Budianto masih menirukan ucapan Alex.
Menurut Budianto, Alex meminta uang itu dengan membawa-bawa nama Kasat Reskrim Polres Jakarta Selatan. Namun, Mendengar permintaan uang Rp 1 miliar, ia mengaku tidak sanggup menyediakannya.
Budianto lantas mengurus surat perlindungan hukum sampai tiga kali dengan harapan kasusnya bisa segera diselesaikan. Menurut dia, walau kasus sudah di tahap P21, dua tersangka dalam perkara itu belum ditahan.
Tanpa disengaja, Budianto mengaku bertemu dengan Andi Sinjaya untuk pertama kalinya pada 9 Januari 2020 di Kejaksaan. Orang yang ditemuinya tersebut berbeda dengan Kasat Reskrim yang ditunjukkan oleh Alex. Dia lantas menceritakan bagaimana tindak lanjut terhadap kasusnya kepada Andi Sinjaya.
Pada 10 Januari 2020, Budianto mengaku mendapat telepon dari penyidik. Saat itu, penyidik menyampaikan bahwa Kasat Reskrim Polres Jakarta Selatan ingin bertemu dengannya. Budianto mengaku meminta pertemuan dilakukan pada pukul 16.00 di kantor Polres Jakarta Selatan. Namun, Andi Sinjaya malah tidak hadir.
"Saya murka di situ. Kalau bapak lu (Andi) gak hargai saya, saya pun gak hargai dia," ujar Budianto menirukan ucapannya kepada penyidik Polres Jakarta Selatan.
Dengan masih diselimuti emosi karena merasa tak dihargai Andi Sinjaya, ujar Budianto, dia menghubungi Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane keesokan harinya, Sabtu, 11 Januari 2020. Di hari itu juga, IPW mengeluarkan rilis media yang menyebut adanya oknum yang memeras Budianto Rp 1 Miliar.
Pada 8 Januari 2020, AKBP Andi Sinjaya dimutasi dan digantikan oleh Muhammad Irwan Susanto. Mutasi itu tertuang dalam Surat Telegram Kapolda Metro Jaya dengan nomor ST/13/I/KEP/2020. Mutasi terhadap Andi Sinjaya kemudian dikait-kaitakan dengan kasus pemerasan yang dialami oleh Budianto.
Budianto pun mengaku salah karena tidak memberikan bukti lengkap kepada IPW soal siapa oknum yang memerasnya hingga nama Andi Sinjaya dikaitkan.
"Saya juga minta maaf kepada Pak Kasat, Andi Sinjaya. Karena tidak memberikan bukti yang seusai percakapan dengan si Alex ini," kata Budianto.
Ihwal perkaranya di Polres Jakarta Selatan, Budianto menyebutnya sebagai sengketa objek tanah. Menurut dia, bapak dari para tersangka menjual lahan kepada orang bernama Slamet Limbong tahun 1976. Pembeli lantas menguasai lahan tersebut hingga tahun 2010.
"Nah pada Desember 2009, para tersangka ini jumpai saya untuk minta tolong," kata Budianto.
Menurut dia, para tersangka memintanya bekerja untuk merebut kembali lahan tersebut dalam 7 hari. Budianto lantas meminta surat kuasa, operasional dan succes fee. Namun setelah dia menyelesaikan pekerjaan, Budianto mengaku tidak mendapatkan bayaran.
"Begitu bisa diambil objeknya, orang yang ngasih kerjaan sama saya ini gak mau bayar," kata Budianto.
Menurut Budianto, terkait isu pemerasan, selain tidak dibayar, dia juga mengaku diserang secara fisik hingga terjadi bentrokan. Penyerangan terjadi pada tahun 2011 dan 2014. Mereka disebut ingin mengusir Budianto dari lahan itu tanpa memberikan bayaran berupa operasional fee.