TEMPO.CO, Jakarta -Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan Rujukan dan Krisis Kesehatan DKI Jakarta, Sulung Mulia Putra mengatakan pelaku usaha stem cell ilegal yakni dr. Oeping Handajanto memiliki izin praktik perorangan yang dikeluarkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
"Dan izinnya masih berlaku," kata Sulung di Polda Metro Jaya, Kamis petang, 16 Januari 2020.
Namun, Sulung mengatakan bahwa klinik tempat dr. Oeping berpraktik sel punca di Hubsch Clinic Ruko Bellepoint, Jalan Kemang Selatan VIII, Mampang Prapatan, Jakarta tidak memiliki izin. Begitu juga dengan sertifikasi keahliannya dalam penyuntikan sel.
Menimbang terbongkarnya kasus praktik penyuntikan sel punca ilegal, Sulung mengatakan bahawa izin praktik dr. Oeping sebagai dokter umum terancam dicabut.
Para Tersangka dr. Oeping Handajanto (kiri), Yusuf Wibisono (kanan) dan Loisje Jumarani P (tengah), ditampilkan saat konferensi pers di Gedung Krimum Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis, 16 Januari 2020. Pelaku membuka klinik tanpa izin dan menggunakan alat farmasi yang tidak sesuai standar ketentuan. TEMPO/Ahmad Tri Hawaari
"Kami akan berkoordinasi dengan organisasi profesi yang mengeluarkan rekomendasi izinnya, nanti organisasi profesi dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta akan mengambil keputusan," kata dia.
Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya tak hanya membongkar praktik ilegal sel punca di Hubsch Clinic Ruko Bellepoint. Namun juga yang berada di Hotel Grand Dika, Jalan Iskandar Syah, Jakarta Selatan. Selain Oeping, dua pelaku lain yakni Yusuf Wibisono (46) dan Loisje Jumarani P. (48) ditangkap.
Oeping berperan sebagai dokter umum yang melakukan penyuntikan sel punca. Sementara Yusuf merupakan perwakilan perusahaan K Cells Power Co. Ltd Jepang di Indonesia yang mendatangkan sel punca. Sedangkan Jumarani bekerja di bagian administrasi. Mereka menjual sel punca tanpa mengatongi izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Atas perbuatannya, para tersangka praktik stem cell ilegal dijerat pasal berlapis. Yaitu, Pasal 204 Ayat 1 dan atau Pasal 263 dan atau Pasal 75 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selanjutnya, Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran dan atau Pasal 201 juncto Pasal 197 juncto Pasal 198 juncto Pasal 108 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan atau Pasal 8 Ayat 1 huruf A Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen juncto Pasal 55 dan 56 KUHP.