TEMPO.CO, Jakarta - Syahrul, Salah satu warga DKI Jakarta yang menggugat Gubernur Anies Baswedan, mengaku mengalami kerugian sebesar Rp 70 juta karena banjir pada 1 Januari 2020. Kerugian berasal dari sejumlah asetnya yang terendam.
"Mobil terendam, TV, sofa, karpet segala macam," ujar Syahrul kepada awak media di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin, 3 Februari 2020.
Syahrul merupakan perwakilan warga di wilayah Jakarta Pusat yang mendaftarkan gugatan class action banjir. Selain Syahrul, terdapat juga perwakilan dari empat kawasan Ibu Kota lainnya yakni Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur dan Jakarta Utara.
Pria yang tinggal di kawasan Bendungan Hilir, Pejompongan itu menuturkan alasannya ikut sebagai penggugat. Menurut dia, Pemerintah DKI tidak memiliki alat peringatan dini terhadap bencana banjir atau disaster warning sistyem (DWS) sehingga warga merugi dengan nilai yang tinggi.
"Kalau saja ada DWS maka kerugian tidak akan sebesar itu," ujar Syahrul.
Pada Senin 3 Februari 2020, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang perdana gugatan class action tersebut. Namun, sidang ditunda karena hanya ada dua dari lima perwakilan penggugat yang hadir. Salah satu yang hadir adalah Syahrul.
Sementara itu, tiga orang perwakilan tidak hadir diduga karena mendapatkan intimidasi. Anggota tim Advokasi Banjir Jakarta 2020, Azas Tigor Nainggolan berujar bahwa perwakilan yang tidak hadir mengalami tekanan dari orang-orang tidak dikenal sebelum sidang perdana.
"Tekanannya apa? Berupa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh oknum tertentu di wilayahnya, mereka dipertanyakan kenpa harus mengunggat Pemprov DKI Jakarta dalam peristiwa banjir kemarin, kenapa langsung ke pengadilan," ujar Tigor.
Gugatan class action banjir didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 9 Januari lalu. Sebanyak 243 orang masuk dalam daftar penggugat yang dihimpun oleh Tim Advokasi Banjir Jakarta 2020. Nilai kerugian yang dicantumkan dalam gugatan sebesar Rp 43 miliar.