TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan masker ilegal yang diproduksi di Cakung, Jakarta Utara, didistribusikan ke beberapa tempat penjualan masker.
Tak hanya itu, masker ilegal juga dijual ke rumah sakit. "Bahkan ada yang ke rumah sakit, makanya, kami masih data semua dia distribusi ke mana," kata Yusri saat konferensi pers, pada Jumat, 28 Februari 2020.
Polisi sebelumnya menggerebek dua gudang tempat menimbun dan memproduksi masker ilegal di Cakung, Jakarta Timur. Menurut Yusri, masker yang mereka produksi memiliki bahan dengan standar paling rendah.
Masker tersebut, kata Yusri, tak memiliki izin produksi, label Standar Nasional Indonesia, serta izin dari Kementerian Kesehatan. Sebanyak 10 orang tersangka yang terdiri dari pekerja, sopir, hingga penanggung jawab gudang ditangkap polisi.
Berdasarkan pemeriksaan, dua pabrik milik PT Uno Mitra Persada sebagai pemasaran produk dan PT Unotec Mega Persada sebagai produsen itu telah beroperasi sejak Januari 2020 lalu. Mereka mendatangkan bahan dan alat untuk membuat masker dari Cina. "Mereka membaca situasi bahwa masker ini sangat dibutuhkan dan harganya bisa 10 kali lipat dari harga biasa," ujar Yusri.
Menurut Yusri, pabrik tersebut rata-rata memproduksi 850 boks masker per hari. Mereka menjual satu boksnya seharga Rp 230 ribu dan meraup omset Rp 200 juta setiap harinya. Dalam penggerebekan itu polisi menyita 60 kardus berisi 3 ribu boks masker ilegal.
Sementara itu, lima pekerja yang ditangkap saat penggerebekan mengatakan telah bekerja sekitar dua bulan dengan gaji Rp 120.000 per hari. Setiap harinya mereka bekerja mulai pukul 07.00-19.00 WIB.
Polisi menjerat para tersangka yang telah ditangkap dengan Pasal 197 subsider 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Dalam pasal itu diatur hukuman bagi setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar, tidak memenuhi standar atau persyaratan keamanan, khasiat, atau kemanfaatan dan mutu.
Polisi juga menjerat mereka dengan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang perdagangan. Pasal itu mengatur hukuman bagi pelaku usaha yang melanggar larangan penyimpanan barang kebutuhan pokok dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan, gejolak harga, atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.
"Ancaman sanksi pidana penjara maksimal 5 tahun dan atau pidana denda maksimal Rp 50 miliar," kata Yusri.