TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus menilai buku-buku yang menjadi barang bukti merupakan media pelajaran bagi anggota Anarko di Tangerang.
"Sama seperti teroris," kata Yusri saat dikonfirmasi pada Senin, 13 April 2020.
Menurut Yusri, para anggota Anarko memang tugasnya untuk melakukan aksi vandalisme. Tujuannya diduga untuk membuat kerusuhan. Dia mencontohkan, salah satu aksi Anarko adalah pembakaran pos polisi di Bandung.
"Siapa di bawahnya, ya orang-orang yang punk-punk itulah, gelandangan," kata Yusri.
Sementara itu, Pendiri Kantor Hukum dan HAM Lokataru, Haris Azhar mengkritik tindakan polisi yang menjadikan buku-buku kritis sebagai barang bukti penangkapan terduga Anarko di Kota Tangerang.
"Ini tidak nyambung," kata dia kepada Tempo, Senin, 13 April 2020.
Sejumlah buku yang disita polisi sebagai barang bukti itu antara lain Massa Aksi oleh Tan Malaka; Corat-coret di Toilet oleh Eka Kurniawan; Indonesia dalam Krisis 1997-2002 oleh Tim Litbang Kompas; Pencerahan Tanpa Kegerahan oleh Aldentua Siringoringo; Ex Nihilo oleh Dwi Ira Mayasari; Love, Stargirl oleh Jerry Spinelli; Gali Lobang Gila Lobang oleh Remy Sylado; Goresan Cinta Sang Kupu-kupu oleh Fitri Carmelia Lutfiaty; Nasionalisme Islamisme dan Marxisme oleh Soekarno dan Christ the Lord: Out of Egypt karya Anne Rice.
Haris mengaku kuatir bahwa suasana ini dibesar-besarkan polisi dengan menciptakan Anarko sebagai musuh. Saat Ini, kata dia, memang ada kerentanan sosial, namun harusnya tidak ditangani seperti itu.
"Masa buku yang menulis kritik ketimpangan ekonomi dianggap sebagai rujukan tindakan anarkis? Bisa-bisa kitab suci agama-agama yang mengajarkan keadilan atau anti ketimpangan juga dilarang nantinya," kata dia.
Para anggota Anarko ini ditangkap karena diduga melakukan aksi vandalisme pada Kamis 9 April 2020 di Tangerang. Mereka membuat coretan di dinding pertokoan yang dinilai mengajak masyarakat melakukan kerusuhan.
Coretan itu antara lain bertuliskan, "sudah krisis saatnya membakar", "kill the rich", "mau mati konyol atau melawan". Para pelaku dijerat dengan Pasal 14 dan Pasal 15 UURI No 1 tahun 1946 tentang menyiarkan berita bohong dan Pasal 160 KUHP tentang tindakan menghasut di muka umum dengan ancaman hukuman penjara 10 tahun.