TEMPO.CO, Jakarta- Tim Advokasi Papua beranggapan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mencari-cari cara untuk membenarkan aksi yang dilakukan oleh enam aktivis Papua pada Agustus 2019 lalu sebagai upaya makar. Salah satu tim advokasi sekaligus pengacara para aktivis Papua, Oky Wiratama, mengatakan sejumlah fakta persidangan tak dimasukkan oleh majelis hakim dalam pertimbangannya.
“Yakni bahwa aksi yang dilakukan oleh aktivis Papua sudah ada pemberitahuan aksi dan sesuai dengan UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, pada saat aksi dikawal dan difasilitasi oleh Polres Jakarta Pusat dan Polda Metro Jaya,” ucap Oky dalam keterangan tertulis, Sabtu, 25 April 2020.
Adapun keenam aktivis itu adalah Paulus Suryanta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, Isay Wenda, Anes Tabuni dan Arina Elopere. Mereka ditangkap polisi karena mengibarkan bendera Bintang Kejora saat unjuk rasa menuntut referendum di depan Istana Merdeka pada 28 Agustus 2019.
Majelis hakim dalam persidangan kemarin menjatuhi Arina Elopere, Paulus Suryanta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, dan Anes Tabuni dengan hukuman penjara selama 9 bulan, sementara Issay Wenda selama 8 bulan. Tuntutan itu lebih ringan dari Jaksa Penuntut Umum yang meminta para terdakwa dihukum 1,5 tahun penjara.
Oky pun menyebut vonis majelis hakim terhadap para aktivis Papua sebagai kekeliruan. “Gagal menghadirkan cinta dan damai bagi masyarakat Papua, sehingga majelis hakim berupaya untuk menghukum bersalah para terdakwa,” tutur dia.
Dalam vonis tersebut, hal yang memberatkan para aktivis Papua di antaranya adalah majelis hakim menanggap perbuatan para terdakwa dapat merusak citra dan martabat bangsa dan negara, dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional dan wilayah Papua, serta dapat mengganggu kerukunan dan memecah belah NKRI.
Di sisi lain, hal yang meringankan menurut hakim adalah para terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya, bersikap sopan selama persidangan, dan berjanji tak akan mengulangi perbuatannya. Majelis hakim juga menganggap para terdakwa masih muda dan dapat menjadi generasi penerus yang dapat membangun Papua.
Jika aksi yang dilakukan para aktivis Papua itu bertentangan dengan Undang-Undang, kata Oky, seharusnya polisi membubarkan aksi tersebut. Bahkan, Oky mengatakan kalau para aktivis meminta agar massa tak mengibarkan bendera bintang kejora karena aksi yang tengah mereka lakukan adalah untuk mengutuk rasisme. “Para aktivis Papua sudah meminta agar kepolisian melakukan tindakan tegas pabila aksi yang dilakukan melanggar UU. Bahkan, difasilitasi berupa bus oleh pihak kepolisian untuk mengantarkan massa aksi pulang,” tutur dia.