TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Institut Harkat Negeri, Awalil Rizky, menganggap persoalan data di Indonesia muncul kembali di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada periode pertama. Menurut Awalil, peran Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) soal pendataan di era Jokowi mulai meredup ketimbang pimpinan sebelumnya, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Belakangan TNP2K di periodenya Pak Jokowi yang pertama itu kurang berperan besar (tidak) seperti Pak SBY (periode) kedua," kata dia saat konferensi pers virtual, Kamis, 14 Mei 2020. Awalil menjelaskan TNP2K memiliki ruang untuk mendata warga miskin di Indonesia pada 2011.
Saat itu, Wakil Presiden Boediono mendukung kerja TNP2K. Tim tersebut juga bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) sehingga mendapat data awal untuk dimasukkan dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Ketika berganti kepemimpinan, tugas mendata relatif dilakukan Kementerian Sosial. Dampaknya, dia menilai, data sensus penduduk sejak 2015 hingga saat ini kurang akurat. "Ketika 2015 dicoba disensus lagi, ke sininya makin kurang akurat," ucap dia.
Dia menyarankan pemerintah menerbitkan payung hukum yang memberi TNP2K kewenangan untuk melakukan pendataan. Dengan begitu, tugas terkait data bukan lagi tanggung jawab kementerian. "Saya kira harus ada payung hukum yang lebih serius," ujarnya.
Masalah data ini muncul setelah penyaluran bansos tahap pertama di Jakarta berantakan. Data penerima bansos yang dimiliki pemerintah DKI dan pusat tumpang tindih. Artinya, pemerintah DKI dan pusat membagikan bantuan ke warga yang sama.
Padahal, menurut Menteri Sosial Juliari Batubara, kesepakatan awal tidak seperti itu. Pemerintah Provinsi DKI seharusnya mendistribusikan bansos ke 1,1 juta jiwa sementara pusat ke 2,6 juta jiwa. Angka ini mengacu pada penjelasan Gubernur DKI Anies Baswedan yang menyampaikan ada 3,7 juta jiwa warga Jakarta butuh bantuan.
LANI DIANA