Anies Cabut Izin Reklamasi
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan resmi mencabut semua izin terkait reklamasi teluk Jakarta. Anies mengatakan, pencabutan dilakukan setelah Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta melakukan verifikasi terkait semua izin di 13 pulau buatan itu.
"Bisa saya umumkan bahwa kegiatan reklamasi telah dihentikan, reklamasi bagian dari sejarah bukan bagian dari masa depan Jakarta," kata Anies di Balai Kota, Rabu, 26 September 2018.
Tiga belas pulau itu adalah pulau A, B, E, I, J, K, M, O, P, Q, H, F, M. Para pemegang izin pulau reklamasi antara lain PT Kapuk Naga Indah, PT Jakarta Propertindo, PT Taman Harapan Indah, PT Pembangunan Jaya Ancol dan lain-lain.
Anies mengatakan, pencabutan izin dilakukan menggunakan Keputusan Gubernur dan surat pencabutan izin. Terhadap bangunan yang sudah terlanjur ada, Anies mengatakan pemerintah DKI sedang melakukan monitoring dampaknya.
Bangunan di Pulau Reklamasi Dapat IMB
Pemerintah DKI menerbitkan IMB untuk bangunan di Pulau D -- yang sekarang bernama Pantai Maju -- pada November 2018. Penerbitan IMB itu didahului penyegelan 932 bangunan oleh Anies pada Juni 2018. Penerbitan IMB dilakukan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP) berdasarkan pengajuan PT Kapuk Naga Indah (KNI) selaku pengembang Pantai Maju.
Alasan Anies menerbitkan IMB karena PT KNI telah membayar denda dan pengembang memiliki dasar hukum dalam melakukan pembangunan ratusan gedung dan rumah itu, yakni Pergub 206 Tahun 2016. Dalam aturan itu, pengembang memiliki hak 35 persen dari total luas pulau 312 hektare.
"Suka atau tidak terhadap isi pergub ini, faktanya pergub itu telah diundangkan dan telah menjadi sebuah dasar hukum dan mengikat," ujar Anies mengenai pergub yang muncul di era kepemimpinan Ahok.
Terbit Perpres Jadi Lampu Hijau Reklamasi
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, mengatakan Perpres Nomor 60 tahun 2020 itu harus dikritisi dan dibatalkan lantaran isinya melegalkan proyek reklamasi di Teluk Jakarta, khususnya pulau C, D, G, dan N.
Menurut Susan, proyek pulau buatan tersebut perlu dibatalkan karena diduga melanggar hukum, merusak sumber daya kelautan dan perikanan, serta merusak kehidupan lebih dari 25 ribu nelayan di Teluk Jakarta dan 3.500 nelayan di Kepulauan Seribu.
Selain itu, lewat Perpres itu, menurut Susan, presiden Joko Widodo alias Jokowi, lewat perpres tersebut, tak menunjukkan keberpihakan kepada nelayan dan sumber daya alam. Alih-alih memperlihatkan keberpihakan kepada nelayan di Pesisir Jakarta, Kepulauan Seribu serta kelestarian sumber kelautan dan perikanan di Teluk Jakarta, justru bakal terlihat sebaliknya.
"Melalui perpres ini Jokowi menunjukkan keberpihakan kepada pengembang reklamasi yang akan menghancurkan masa depan Teluk Jakarta,” kata Susan.
Dalam ketentuan anyar berisi 141 pasal tersebut, Jokowi memasukkan empat pulau reklamasi, yaitu pulau C, D, G, dan N ke dalam golongan Zona Budi Daya 8 (Zona B8) di utara daratan Jakarta.
Disebutkan bahwa pembangunan pulau reklamasi diperuntukkan bagi permukiman, perdagangan, industri, pergudangan, pariwisata, dan pembangkit tenaga listrik. Sekretaris Kabinet Pramono Anung sempat membantah kalau peraturan itu disusun sebagai pelumas pembangunan pulau reklamasi.
Minim Perlindungan Lingkungan dan Masyarakat
Direktur Eksekutif ICEL Raynaldo Sembiring, dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Rabu, 13 Mei 2020, menilai aturan yang menggantikan regulasi sebelumnya, yaitu Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek-Punjur tersebut, banyak merugikan.
Ia menilai mulai dari komitmen penyelamatan lingkungan yang belum memadai, perlindungan masyarakat yang sangat lemah dan rentan kehilangan sumber-sumber kehidupan, hingga rencana kelembagaan yang juga tidak memadai.
Sehingga pengaturan mengenai pulau-pulau reklamasi menjadi tidak tepat. "Karena pengaturan ruang pesisir 0-12 mil diatur dalam UU Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil."
Seandainya pun mau dimuat dalam perencanaan, yang paling tepat adalah dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) DKI Jakarta, kata Raynaldo.
"Hanya saja seperti yang kita ketahui Gubernur DKI Jakarta sudah berjanji untuk tidak melanjutkan reklamasi. Pengaturan pulau-pulau reklamasi berpotensi bertentangan dengan asas kepastian hukum,” ujar dia.
Direktur WALHI Jabar Meiki Paendong menegaskan Perpres itu belum menunjukan semangat perlindungan lingkungan hidup dan ekologi yang utuh. Kawasan perkotaan Jabodetabekjur masih dipandang sebagai kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan ekonomi, yang pada akhirnya lingkungan hiduplah yang harus mengikuti.
Meiki meminta agar Perpres itu ditinjau ulang dengan tentunya lebih mengedepankan penerapan prinsip kehati-hatian sejak dini (Precautionary Principle) dan azas semangat perlindungan lingkungan hidup. "Bukan hanya semata-mata untuk kepentingan ekonomi kapital," ujarnya.